Kaum
Muda Oportunis Musuh Besar Revolusi (Bag.I – Selesai)
“Berikan aku 10 pemuda terbaik,
akan kuubah negara ini menjadi negara termaju di dunia!" Panglima Besar
Revolusi, Ir. Soekarno
Suatu
ketika ada seorang kawan menelpon dan mengatakan kalau kaos Lenin itu bahaya,
sejenak aku berfikir bahwa usianya memang masih belia tapi ucapannya mirip
lansia (lanjut usia). Anak muda seperti ini ternyata jumlahnya cukup banyak di
negeri ini. Mahkluk jenis ini adalah generasi yang terlalu banyak makan dan
kebanyakan nonton acara hantu di televisi. Hingga tempurung kepalanya penuh
nasi dan darahnya lebih banyak mengalir? rasa takut!!!
“Sebuah revolusi bukan adegan pesta makan malam” Kalimat itu suka sekali diucapkan Mao. Saat
digelar revolusi di China ,
Mao bergerak lincah seperti seekor kijang. Gempuran yang keras dari kaum
kapitalis tidak lantas membuatnya tumbang. Mao punya energi spartan seperti Che
Guevara yang berparas tampan dan tegas. Keduanya memiliki kesanggupan untuk
bertahan, menahan kekalahan sekaligus menyerang dengan cepat. Sama dengan Imam
Khomeini yang petuah dan sikap hidupnya terus mendendangkan lagu perlawanan.
Hal yang juga dialami oleh Lenin, yang diduga karena terlalu banyak menggunakan
otak sampai pada kematiannya. Orang-orang itu, sepertinya diciptakan dalam
“cetakan” yang khusus.
Disebut
khusus karena mereka melakukan sesuatu yang sekarang mungkin dianggap tidak
masuk akal. Khomeini menjatuhkan kekuasaan syah Reza yang jadi boneka mainan
Amerika. Che menumbangkan Batista dengan serangan gerilya yang cekatan dan
militan. Sedangkan Lenin menumbangkan kekuasaan Tsar yang tiran dan penindas.
Mereka melakukannya, dengan motif dan cita-cita raksasa. Mendirikan negara
komunis hingga menetapkan sistem politik Islam. Di tangan Lenin tulisan Marx
berbuah gerakan. Di tangan Khomeini ajaran dalam Qur’an menjadi revolusioener.
Hingga saat ini mereka adalah? inspirasi banyak kaum pergerakan. Tapi tak
selamanya membaca tulisan Marx jadi radikal. Sama halnya tak semua pembaca
Qur’an akan menjelma jadi sosok Khomeini. Tulisan maupun seruan Lenin belum
tentu membuat orang lantas jadi bernyali. Malahan tak sedikit mereka ketakutan,
cemas, dan kuatir.
Dulu
mereka mungkin pemberani mungkin juga aktivis yang giat di jalanan bahkan
pernah kena sentuhan sel penjara, bentrok dengan polisi dan tentara bisa jadi
menu sehari-hari. Tapi nyali itu bisa di makan usia. Keberanian kerapkali
kurang bertahan lama di badan. Semangat perlawanan dan anti kemapanan nyatanya
mengenal kata istirahat. Uang dan jabatan pastilah mampu membuat mereka
bersimpuh. Nyali berganti dengan watak pengecut. Suara kritis berbelok ke arah
kompromi. Dan sikap anti kemapanan berbalik jadi pribadi borjuis yang haus
popularitas dan posisi. Sehingga ketika menjadi pengecut, mereka sibuk membela
diri.
Di
sekitar kita, memang ada banyak kaum muda yang tidak betah lapar. Sebagian dari
mereka juga agak nyiyir terhadap mimpi revolusi. Bahkan ada pula yang sinis
hanya karena rekan-rekan muda yang lain memakai kaos perlawanan. Mereka
kerapkali menyebut diri dengan sosok yang realistis. Pribadi yang seolah-olah
tidak memiliki motif raksasa. Sejenis ego yang tak mampu melihat apapun yang
berbau mimpi dan imajinasi kecuali dengan semangat merendahkan. Di mata kepala
mereka, hidup itu tak perlu mimpi.
Yang
menakjubkan, mereka bukanlah kawanan penganggur. Ada yang duduk dalam posisi kekuasaan. Opini
mereka tentu bermotif melunakkan udara perlawanan. Ada yang duduk sebagai pengusaha. Motifnya
yang mungkin adalah mengeruk laba. Tetapi yang mengejutkan, ada anak muda yang
duduk sebagai aktivis yang punya pandangan seperti itu. Mereka yang menolak
perubahan melalui revolusi dan lebih menyukai metode yang lunak serta
jelas-jelas didukung lembaga donor. Mereka semua adalah pengkhianat revolusi
yang jauh lebih berbahaya ketimbang barisan serdadu. Dengan kantong yang tebal
serta pengalaman travelling kemana-mana, mereka adalah tanaman yang dibonsai.
Mereka besar bukan karena nyali perlawanan tapi karena “loyalitas dan
kepatuhan” buta pada kaum cukong pemegang uang.
Kaum Muda Oportunis Musuh Besar
Revolusi (Bag.II – Selesai)
Jenis
utama musuh yang sesungguhnya ditentang oleh Ali Syariati dan Imam Khomeini
adalah Orang-orang pintar omong yang sebenarnya tidak kerja demi rakyat. Rakyat
di kalimat mereka, hanyalah himpunan orang-orang yang berkumpul karena perlu
untuk di “proyekkan”. Lenin mengecam barisan yang tidak punya dedikasi dan
kedisplinan. Karena mereka selalu punya pandangan dengan disiplin ala serdadu.
Yang mereka rindukan dan disenangi adalah popularitas. Bahkan tak jarang mereka
menginjak sesama anak muda, untuk menduduki tangga popularitas itu. Mulutnya
saja ngomong tentang demokrasi padahal kerjaannya melakukan penindasan
imajinasi. Mereka kini memenuhi, bukan saja NGO/LSM, melainkan dunia profesi
yang bersentuhan dengan kegiatan seperti hukum, medis, hingga pendidikan. Semua
lini yang mengarah kepada orang-orang miskin. Andai Che Guevara masih hidup,
tentu ia akan menghimpun bergerilya melawan mereka.
Mereka
seperti barisan pendukung Batista yang loyal dan juga kaya. Bagaimana anak-anak
muda ini bisa radikal, jika gaya
hidup serta konsumsi mereka jauh dari apa yang dimakan sehari-hari oleh rakyat
miskin. Jika saja Imam Khomeini masih segar tentu anak-anak muda ini yang ia
peringatkan pertama kali. Tapi mereka tak mungkin patuh dengan Khomeini, yang
terus mendesak untuk aksi ke jalan meski moncong senapan diarahkan ke muka.
Kalau Lenin masih tegak pasti kelompok anak-anak muda ini akan dikenakan
disiplin untuk pertama kali. Revolusi, yang menuntut sikap tegas, tidak memerlukan
mereka yang ragu-ragu apalagi skeptis terhadap mimpi. Revolusi jadi menarik,
karena ia energik, imajinatif, dan menolak keragu-raguan.
Mungkin
karena itu revolusi muncul hanya dalam slogan. Sebab anak-anak muda
pendukungnya berada dalam situasi yang sakit dan cacat. Pertama, mereka tidak
suka mimpi perubahan yang radikal dan besar. Uang telah membikin mereka jadi
anak muda yang berurusan dengan hal-hal sepele dan sederhana. Uang tidak
membuat mereka bergegas membikin karya besar. Kenikmatan mereka diukur dengan
badan dan perut mereka sendiri. Kedua, anak-anak muda ini begitu rakus dan haus
popularitas. Lensa kamera yang ukurannya kecil itu dijadikan sasaran untuk
menayangkan muka mereka yang letih dan penuh polesan. Ukuran aktivitas bukan
sejauh mana dampaknya bagi rakyat melainkan dimuat tidaknya di media. Ketiga,
karena itu mereka meneguhkan diri sebagai kawanan sekuler dan liberal karena
mereka berbuat, bertindak, dan bersikap tanpa dasar nilai sama sekali. Mereka
tidak beragama, tapi mereka juga bukan atheis atau marxis. Mereka tidak
beragama karena memang malas diikat oleh aturan-aturan.
Satu-satunya
ikatan di antara mereka hanyalah uang. Selama uang berkibar maka apapun akan
dikerjakan. Selama uang bisa memenuhi kantong maka semua akan dilakukan. Karena
istilah uang itu agak kasar, maka coba disebut kata logistik untuk
menghaluskannya. Bagaimana kita bisa bergerak kalau logistiknya tidak ada?
Itulah semburan yang dilontarkan. Sudah pasti mereka tidak tahu, berapa modal
yang dipunyai Lenin saat memulai Revolusi Oktober. Mereka pasti tidak ingat
bagaimana Marx yang lapar mampu melahirkan karya Das Kapital. Mereka juga tidak
ingat bahwa perubahan bukan datang dari konsep-konsep proposal.
Revolusi
memang dicetak oleh anak-anak muda yang bernyali. Almarhum Romo Mangun selalu
bilang, bukan anak muda jika tidak radikal! Sikap radikal adalah karakteristik
orang yang disebut muda. Muda, radikal dan karenanya militan. Terhadap uang,
sikap anak muda adalah seperti novel Knut Hansum yang berjudul lapar, enggan,
malu dan tidak akan meminta. Karena ia tahu, martabatnya tidak diukur dari
berapa uang yang dimiliki. Terhadap jabatan apalagi. Persis sikap Einstein yang
menolak jadi penguasa karena ilmu fisika jauh lebih asyik ketimbang duduk
didampingi pengawal. Tapi terhadap petualangan pelawanan, ia akan mengatakan,
ya! dan terjun bergerak. Novel dan film The Old Man and The Sea, karya Ernest
Hemingway, menuturkan bagaimana seorang layaknya menyambut petualangan. Inilah
sikap anak muda mas Marco Martodikromo hingga Che Guevara. Mereka adalah anak
muda yang selalu curiga, dengan kenyataan. Anak muda yang hidupnya dimodali
dengan pertanyaan, bukan segebog rupiah atau dollar.
Di Tulis di Semarang, 28/10
2009, Sebagai Bahan Refleksi Pemuda dan Mahasiswa Se-Jateng, Dalam Acara “Panggung
Rakyat” Yang digelar Mahasiswa Pro-Demokrasi Jawa Tengah (MaPro-Dem Jateng)
Setiap Malam Bulan Purnama+1 di Perempatan Purnama Universitas Negeri Semarang.
Penulis; Fahruddin Fitriya,
Alumnus FH UNNES dan FPBSI IKIP PGRI Semarang .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar