Kamis, 26 April 2012

Resensi Buku; Biarkan Hukum Mengalir


Sampul buku
Buku “Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum“ merupakan buku terbaru yang ditulis oleh Prof Tjip (sapaan Prof Satjipto Rahardjo). Berbeda dengan dua buku sebelumnya (Buku Sisi-sisi Lain dari Hukum Di Indonesia dan Buku Membedah Hukum Progresif) yang merupakan kumpulan tulisan terpilih beliau yang dirangkum menjadi sebuah buku, buku ini (Biarkan Hukum Mengalir) merupakan karangan yang sengaja ditulis untuk menjadi publikasi berbentuk buku.

Terdiri dari sepuluh bab yang secara berurutan judul babnya adalah: 1] pergulatan manusia dan hukumnya; 2] jagat ketertiban; 3] dinamika di luar hukum negara; 3] hukum nasional sebagai beban untuk komunitas lokal; 5] cara bangsa-bangsa berhukum; 6] mempertanyakan kembali kepastian hukum; 7] hukum itu manusia, bukan mesin; 8] watak liberal hukum modern; 9] biasa dan luar biasa dalam berhukum; dan 10] hukum progresif yang membebaskan. Pada setiap akhir bab-nya Prof Tjip selalu mengajak pembaca untuk berefleksi dan menghimbau, biarkan hukum mengalir saja. Suatu ajakan yang beranjak dari asumsi bahwa hukum itu bukan hanya tatanan determinatif yang sengaja dibikin (rule making) tetapi dalam kehidupannya hukum mengalami benturan, kelokan dan terantuk-antuk, sehingga untuk mencapai tujuannya yang tertinggi perlu dilakukan terobosan-terobosan (rule breaking).

Biarkan Hukum Mengalir secara jelas dipengaruhi oleh hipotesa Karl Ranner yang menyatakan agar hukum itu dibiarkan mencari dan menemukan jalannya sendiri secara progresif, “the development of the law gradually works out what is socially reasonable” (hal 5, 47 dan 89). Kalimat itu berkali-kali dikutip oleh Prof Tjip dalam buku ini. Di saat peraturan perundang-undangan tidak mengakomodir secara yuridis kepentingan masyarakat atau dikala penerapan hukum mematahkan pemenuhan hak dan kewajiban masyarakat, maka hukum sebagai suatu cerminan sosiologis masyarakat akan mencari dan menemukan jalannya sendiri. Ibarat air, ketika dibendung oleh suatu tembok, ia akan mencari celah untuk menembus tembok tersebut. Pandangan yang demikian sekilas terlihat menggunakan pandangan yang ada dalam hukum alam. Meskipun Prof Tjip tidak secara jelas menyatakan pandangan itu dipinjam dari mazhab hukum alam, dengan mengadopsi pandangan Taoisme yang digubah Maturana dan Fritjof Capra sebagai referensi dalam bab 9 telah menunjukkan bahwa Prof Tjip meminjam pandangan naturalis dari filsafat timur yang dimasa kini mewujud dalam pandangan yang postmodernis. Pandangan yang mencoba menyejajarkan modernisme barat dengan mistisisme timur.

Pada permulaan bab satu Prof Tjip menceritakan pergulatan manusia dengan hukumnya. Menceritakan bagaimana bangsa-bangsa berhukum menurut karakteristik sosialnya. Bahwa hukum modern tidak selalu dapat memoderasi masyarakat. Hukum modern yang dicirikan rasional, otonom, tertutup yang mengkristal dalam doktrin The Rule of Law bukanlah nilai universal yang bisa berlaku di ladang negara-negara yang tidak memiliki sejarah sama dengan Eropa tempat kelahirannya. Untuk menguatkan argumennya Prof Tjip berulangkali memberi perbandingan cara berhukum bangsa Jepang (cerminan masyarakat timur) dengan bangsa Amerika (cerminan masyarakat barat). Bangsa Jepang berhukum dengan hatinya (kokoro) sedangkan bangsa Amerika berhukum dengan rasio dan untung ruginya.

Secara khusus dalam bab IV Prof Tjip mengangkat judul Hukum Nasional sebagai Beban untuk Komunitas Lokal. Narasi bab ini dipaparkan dengan mengutip pandangan Bernard L. Tanya, Karolus Kopong Medan, dan Daniel S. Lev. Setidaknya dari tiga kajian dan pengalaman orang-orang tersebut menunjukkan bahwa hukum nasional yang nota bene berwatak modern dan liberal “membunuh” hukum adat yang hidup dalam interaksi masyarakat. Masih banyak lagi tema dan ide penting yang dipaparkan Prof Tjip dalam buku ini, diantaranya kritik atas asas kepastian hukum, jagat ketertiban, cara-cara bangsa berhukum, kritik terhadap watak liberal hukum modern, yang secara kumulatif memaparkan alasan mengapa hukum progresif itu muncul.

Pada bab terakhir (bab X) Prof Tjip menutupnya dengan dasar-dasar hukum progresif dengan judul bab Hukum Progresif yang Membebaskan. Sungguh ini adalah satu panduan singkat bagi banyak orang yang sedang gandrung dengan gagasan beliau tentang Hukum Progresif. Pada bab ini Prof Tjip mengkritalisasi apa yang dimaksud dengan hukum progresif dan paradigma yang menopangnya, yaitu: Pertama, hukum adalah untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Nilai ini menempatkan bahwa yang menjadi titik sentral dari hukum bukanlah hukum itu sendiri, melainkan manusia. Bila manusia berpegang pada keyakinan bahwa manusia ada untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam skema-skema yang telah dibuat oleh hukum. Sebaliknya, pandangan yang menyatakan bahwa hukum adalah untuk manusia senada dengan pandangan antroposentris yang humanis dan membebaskan.

kedua, Hukum Progresif menolak untuk mempertahankan status quo dalam berhukum. Mempertahankan status quo berarti mempertahankan segalanya, dan hukum adalah tolak ukur untuk semuanya. Pandangan status quo itu sejalan dengan cara positivistik, normatif dan legalistik. Sehingga sekali undang-undang menyatakan atau merumuskan seperti itu, kita tidak bisa berbuat banyak, kecuali hukumnya dirubah terlebih dahulu. Status quo yang dipertahankan lewat asas kepastian hukum tidak hanya membekukan hukum, tetapi juga berpotensi besar membekukan masyarakat.

Ketiga, Hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan perilaku manusia dalam berhukum. Perilaku di sini dipengaruhi oleh pengembangan pendidikan hukum. Selama ini pendidikan hukum lebih menekankan penguasaan terhadap perundang-undangan yang berakibat terpinggirnya manusia dari perbuatannya di dalam hukum. Sembilan puluh persen lebih kurikulum pendidikan hukum kini mengajarkan tentang teks-teks hukum formal dan bagaimana mengoperasionalisasikannya (hal 145). Secara agak ekstrem, Gerry Spence mengkritik pendidikan hukum dengan mengatakan, “sejak mahasiswa memasuki pintu fakultas hukum, maka rasa kemanusiaannya dirampas dan direnggut.” Disamping pada ranah pendidikan, peranan perilaku manusia dalam berhukum juga terkait dengan profesi pengemban hukum seperti hakim, jaksa, polisi, pengacara dan profesi hukum lainnya. Peranan para pengemban hukum memiliki signifikansi cerminan hukum bagi masyarakat.

Diakhir bab X Prof Tjip menjawab pertanyaan banyak orang tentang apa yang dimaksud dengan hukum progresif. Secara ringkas beliau memberikan rumusan sederhana tentang hukum progresif, yaitu melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaa (hal 147).

Sejak digulirkan tahun 2002, sudah banyak orang yang tergugah dengan pendekatan hukum progresif karena dianggap sebagai pendekatan alternatif di tengah kejumudan positivisme hukum. Kalangan positivisme hukum diam-diam memperhitungkan Hukum Progresif sebagai benih yang berangsur siap di semai di lahan sosial, yang akan merepotkan kalangan yang memposisikan hukum sebagai mesin yang mekanistik, rasional dan berkepastian. Sejak kira-kira tahun 2002 pula gairah menyeriusi Hukum Progresif muncul, namun pendekatan ini belum membeku menjadi konsep yang dapat diterapkan menjadi tujuan. Sepanjang ini hanya digunakan sebagai argumen dan konsep kepedulian (sensitizing concept), belum menjadi konsep teoritis atau mazhab. Pendekatan ini memang terbuka (inklusif) bagi banyak orang, tapi bila akan mengeras dan menjadi panji-panji perubahan hukum, tentu memerlukan agensi yang jelas, paradigma dan pola pengembangan aksional yang tepat.

Namun, dalam perjalanan yang sedang berlangsung, buku ini menjadi salah satu konsideran. Juga sudah dapat diduga bahwa buku Biarkan Hukum Mengalir ini akan menjadi buku pegangan para pengagum hukum progresif. Lewat buku ini Prof Tjip mengumpulkan sendiri sendi-sendi hukum progresif dan kemudian meluncurkannya agar mengalir dalam relung-relung pikiran dan tindakan manusia Indonesia.


Judul                    : Biarkan Hukum Mengalir; Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum
Pengarang            : Satjipto Rahardjo
Penerbit               : Penerbit Buku KOMPAS
Cetakan               : I, November 2007
Tebal                   : x + 158 halaman (termasuk indeks)
Resensi oleh         : Fahruddin Fitriya, SH

Selasa, 17 April 2012

Kenapa Harus Menulis "?"



Ilustrasi; Menulis
Blogging, jaringan sosial, dan jurnal telah menciptakan jutaan penulis produktif. Menulis membuat Anda berinteraksi dengan orang, masyarakat, pekerjaan, dan yang paling penting untuk diri Anda sendiri. Menulis itu membuat jiwa-raga Anda sehat.

Inilah alasan-alasan yang membuat menulis merupakan kebiasaan yang sehat (healthy habit):

Menulis membantu Anda membuat keputusan. Membuat daftar pro dan kontra memungkinkan Anda melihat konsekuensi pilihan Anda lebih jelas.
Menulis menghemat waktu dan memori. Menuliskan catatan pada selembar kertas akan menjadikan Anda dapat  menghemat waktu berjam-jam yang mungkin bisa Anda habiskan ketika mencoba mengingat sesuatu.

Menulis menghapus “galau”. Menuangkan emosi Anda pada kertas (menuliskan kegalauan) bisa mencerahkan hati yang berat. Dengan menulis kita bisa berbagi. Manusia adalah makhluk sosial. Dengan demikian, berbagi emosi, opini, dan cerita itu penting untuk menjalin hubungan sosial. Istilah “history” (sejarah) berasal dari  kata  “his” dan “story” (ceritanya/katanya). Mungkin suatu hari nanti akan disebut “herstory”.

Menulis menciptakan hidup Anda. Dengan menuliskan afirmasi (pernyataan, sugesti pribadi) positif, mempraktikkan dan mempercayainya, Anda membawa lebih banyak hal positif dalam hidup Anda.
Menulis membuat Anda tenang. Jika Anda marah kepada seseorang, tuliskan dulu amarah Anda. Lalu putuskan pendekatan apa yang akan diambil.

Menulis adalah sebuah pengalih perhatian yang sangat baik. Ketika kehidupan menjadi sulit, menulis kreatif memungkinkan Anda untuk “melarikan diri” ke sebuah dunia fantasi dan menyenangkan.
Menulis itu membantu orang lain. Sebuah kata, kalimat, atau cerita bisa mengubah hidup orang lain menjadi lebih baik.

Kita sudah paham betapa banyak manfaat menulis. So… Just Write! Nulis ahhh….! Go Blogging!

Akhirulkalam, harap maklum ye, kalo bahasa postingan ini dirasa agak “kacau”. Soale postingan terjemahan bebas dari artikel “Writing is a healthy” by Debbie Gisonni di examiner.com. Wasalam.

Tulisan ini juga diposting di Romeltea Magazine

Senin, 16 April 2012

Menunggu Media Massa dan Kaum Aktivis Pergerakan Bersikap Tegas


#Catatan kritis untuk kaum pragmatis
Ilustrasi
Ternyata Media massa dan kaum aktivis pergerakan mempunyai sudut pandang dan sikap yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan dalam merespon perkembangan yang tejadi disekitarnya. Cara pandang media massa, dalam koreksi terhadap penguasa, cenderung dibangun dengan prinsip dan kepentingan yang melekat pada dirinya. Hal yang serupa juga tidak berbeda dengan kaum aktivis pergerakan.

Watak media massa saat ini

Umumnya prinsip yang dianut media massa lebih mengutamakan tujuan industrinya sebagai jaminan untuk berkembang dan tetap survive. Tidak peduli dengan suara kritis yang berkembang disekitarnya. Bagi mereka yang terpenting bagaimana dapat mengais keuntungan sebesar-besarnya dan memperluas jaringan bisnisnya ke berbagai bidang.

Pilihan ini terkadang menyebabkan daya kritis media menjadi melemah, kabur, tidak tegas dan bahkan secara terang-terangan tampil sebagai humas penguasa dan penyalur kepentingan syahwat pengusaha besar. Watak ini, maaf, juga berlaku di bumi Borneo.

Bagaimana dengan sikap kaum aktivis pergerakan?

Kalangan aktivis pergerakan, khususnya pasca tumbangnya rezim Soeharto, terpecah-pecah dan beradaptasi dengan ragam kepentingan kelompoknya masing-masing. Sebagian besar aktivis tersebut kembali dan menjalani kehidupannya secara normal, tidak ikut mengawal perubahan. Namun, sebagian dari mereka memilih tetap konsisten dan terus berinteraksi dengan dinamika di lapangan.

Singkatnya, kalangan aktivis yang terpecah-pecah itu, secara alamiah mulai terkonsolidasi dalam beberapa isu nasional. Pemicunya tidak lain adalah, kasus dugaan pelanggaran pemilu (Pileg-Pilpres), kasus Century, Kenaikan BBM dan beberapa kasus lainnya. Menariknya, konsolidasi para aktivis tersebut, kini terfokus dan berakumulasi pada koreksi serius atas kegagalan agenda reformasi dan secara terang-terangan menegaskan bahwa posisi SBY sebagai titik fokus dimaksud.

Arah gerakan para aktivis ini, seolah mengisyaratkan kepada kita tentang adanya proses pengulangan sejarah reformasi yang pernah terjadi pada tahun 1998. Kondisi ini dapat dilihat dari maraknya aksi-aksi yang makin meluas dan mulai bergelombong menuju pusat-pusat kekuasaan. Sementara dalam waktu yang sama, elit penguasa terlihat panik dan semakin kehilangan legitimasi di mata publik.
Ilustrasi

Pertanyaannya saat ini, kapan kaum aktivis pergerakan dan media massa menentukan sikap, Apakah masih akan tetap asyik dengan ego dan kepentingan pragmatisnya, atau bangkit secara bersama-sama untuk menyelamatkan NKRI. Apakah hal itu dimungkinkan?

Minggu, 15 April 2012

Resensi Buku, Psikologi Sastra: Karya, Metode, Teori, dan Contoh Kasus


Sebuah karya sastra merupakan kisahan yang senantiasa bergumul dengan para tokoh fiksional yang diciptakan oleh si pengarang. Agar ceritera lebih menarik, si pengarang kerap kali menampilkan perilaku para tokoh dengan kepribadian yang tidak lazim, aneh, atau abnormal, sehingga menimbulkan berbagai perasaan bagi para pembaca. Tidak jarang para pembaca bertanya-tanya, mengapa si tokoh berperilaku demikian, apa yang terjadi pada dirinya, apa penyebabnya, dan apa pula akibat dari semua ini. Bahwasanya masalah perilaku mungkin saja terkait dengan masalah kejiwaan, maka kisahan semacam ini dapat merupakan masalah psikologis.

Oleh karena itu, dalam buku yang merupakan hasil penelitian tentang karya-karya sastra Inggris dan Amerika yang bermutu ini, penulis menampilkan beberapa kasus para tokoh fiksional yang mencerminkan konsep-konsep yang terdapat dalam Psikologi Sastra. Para tokoh dimaksud terdapat dalam karya-karya sastra Inggris dan Amerika ciptaan Nathaniel Hawthorne, Eugene O'Neil, Theodore Dreiser, dan D.H. Lawrence. dalam buku ini dibahas pula para tokoh yang mencerminkan beberapa konsep yang terdapat dalam Psikologi Sastra, misalnya konsep-konsep: Oedipus Complex, Electra Complex, Naluri Kematian, rasa Bersalah, Agresivitas, Halusinasi, Konflik Batin, rasa Malu, dan sebagainya. Selain itu, dibahas pula pencerminan Teori Kebutuhan Bertingkat dari Abraham Maslow yang mencakup kebutuhan fisiologis, rasa aman, rasa memiliki dan dicintai, rasa harga diri, dan aktualisasi diri.

Selama ini telaah karya sastra melalui pendekatan Psikologi Sastra sering diperdebatkan karena kerap kali hakikat sastra menjadi hilang, telaah sastra seakan-akan menjadi telaah Psikologi. Oleh karena itu, agar telaah sastra psikologis tidak meninggalkan hakikat analisis suatu karya sastra, maka pencerminan berbagai konsep psikologi di atas perlu disampaikan melalui metode perwatakan yang biasa digunakan dalam telaah sastra. Metode-metode tersebut misalnya, telling (langsung), showing (tidak langsung), gaya bahasa bahasa (figurative language): simile, matafor, personifikasi, , dan sudut pandang (point of view).

Pembahasan dalam buku ini dapat dijadikan bahan acuan bagi para peneliti, karena paparannya cukup jelas dan terperinci, sehingga buku ini akan bermanfaat bagi para peneliti yang berminat menganalisis suatu karya sastra dalam bahasa apapun.

Penulis             :        Albertine Minderop
ISBN         :        978-979-461-759-5
Dimensi         : 14,5 x 21 cm
Jenis Cover : soft cover
Berat Buku : 310
Jenis Kertas : Book Paper

Sabtu, 14 April 2012

Menulis Yuk's...

Bagaimana Memulai

Banyak yang ingin menulis ke media tapi bingung bagaimana memulainya. Ada dua cara:
1. Mempelajari teori menulis baru praktik;
2. Learn the hard way atau menulis dulu teori belakangan.
ILUSTRASI; "Menulis"
Terserah kita mana yang lebih enak dan nyaman. Tapi, berdasarkan pengalaman rekan-rekan di India yang tulisannya sudah banyak dimuat di media, alternatif kedua tampaknya lebih bagus. Rizqon Khamami, Zamhasari Jamil, A. Qisai, Tasar Karimuddin, Beben Mulyadi, Jusman Masga, Irwansyah, dan lain-lain semuanya belajar menulis dengan langsung mengirim tulisannya. Bukan dengan belajar teori menulis lebih dulu.

Saya sendiri merasa alternatif kedua lebih enak. Ini karena kemampuan daya serap saya terhadap teori sangat terbatas. Saya pernah mencoba belajar teori menulis. Hasilnya? Pusing. Bukan hanya itu, bahkan dalam belajar bahasa Inggris pun, saya cenderung langsung membaca buku, koran atau majalah. Pernah saya coba belajar bahasa Inggris dengan membaca grammar, hasilnya sama: pusing kepala.

Sulitkah Menulis?

Sulitkah menulis? Iya dan tidak. Sulit karena kita menganggapnya sulit. Mudah kalau kita anggap “santai”. Eep Saifullah Fatah, penulis dan kolomnis beken Indonesia, mengatakan bahwa menulis akan terasa mudah kalau kita tidak terlalu terikat pada aturan orang lain. Artinya, apa yang ingin kita tulis, tulis saja. Sama dengan gaya kita menulis buku diary. Setidaknya, itulah langkah awal kita menulis: menulis menurut gaya dan cara kita sendiri. Setelah beberapa kali kita berhasil mengirim tulisan ke media — dimuat atau tidak itu tidak penting– barulah kita dapat melirik buku-buku teori menulis, untuk mengasah kemampuan menulis kita. Jadi, tulis-tulis dahulu; baca teori menulis kemudian. Seperti kata Rhoma Irama, penyanyi kesayangan Malik Sarumpaet.

Topik Tulisan

Topik tulisan, seperti pernah saya singgung dalam posting beberapa bulan lalu, adalah berupa tanggapan tentang fenomena sosial yang terjadi saat ini. Contoh, apa tanggapan Anda tentang bencana gempa dan tsunami di Aceh? Apa tanggapan Anda seputar pemerintahan SBY? Apa tanggapan Anda tentang dunia pendidikan di Indonesia? Dan lain-lain.

Sekali lagi, usahakan menulis sampai 700 kata dan maksimum 1000 kata. Dan setelah itu, kirimkan langsung ke media yang dituju. Jangan pernah merasa tidak pede. Anda dan redaktur media tsb. kan tidak kenal. Mengapa mesti malu mengirim tulisan? Kirim saja dahulu, dimuat tak dimuat urusan belakangan. Keep in mind: Berani mengirim tulisan ke media adalah prestasi dan mendapat satu pahala. Tulisan dimuat di media berarti dua prestasi dan dua pahala. Seperti kata penulis dan ustadz KBRI, Rizqon Khamami.
Rendah Hati dan Sifat Kompetitif

Apa hubungannya menulis dengan kerendahan hati? Menulis membuat kita menjadi rendah hati, tidak sombong. Karena ketika kita menulis dan tidak dimuat, di situ kita sadar bahwa masih banyak orang lain yang lebih pintar dari kita. Ini terutama bagi rekan-rekan yang sudah menjadi dosen yang di mata mahasiswa-nya mungkin sudah paling ‘wah’ sehingga mendorong perasaan kita jadi ‘wah’ juga alias ke-GR-an.

Nah, menulis dan mengririm tulisan ke media membuat kita terpaksa berhadapan dengan para penulis lain dari dunia dan komunitas lain yang ternyata lebih pintar dari kita yang umurnya juga lebih muda dari kita. Di situ kita sadar, bahwa kemampuan kita masih sangat dangkal. Kita ternyata tidak ada apa-apanya. Ketika kita merasa tidak ada apa-apanya, di saat itulah sebenarnya langkah awal kita menuju kemajuan.

Kita juga akan terbiasa menghargai orang dari isi otaknya bukan dari umur atau senioritasnya apalagi jabatannya.

Di sisi lain, membiasakan mengirim tulisan ke media membuat sikap kita jadi kompetitif. Sekedar diketahui, untuk media seperti KOMPAS, tak kurang dari 70 tulisan opini yang masuk setiap hari, dan hanya 4 tulisan yang dimuat. Bayangkan kalau Anda termasuk dari yang empat itu. Itulah prestasi. Dan dari situlah kita juga belajar menghargai prestasi dan keilmuan serta kekuatan mental juara seseorang.

It’s your choice: you are either being a loser or a winner. Being a loser is easy. Just sit down in the chair, behind your desk. And feel comfort with your hallucination of being “a great guy” which is actually not, as a matter of fact.

Selasa, 10 April 2012

Teknik Menganalisis Berita


Ilustrasi
Metode utama yang digunakan dalam menganalisis berita adalah analisis isi. Metode analisis isi terdiri atas dua jenis, yaitu analisis isi kuantitatif dan analisis isi kualitatif. Analisis isi kuantitatif akan melahirkan data kuantitatif dan karenanya tidak akan mencerminkan jawaban yang komprehensif terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Itulah sebabnya analisis isi kuantitatif perlu diikuti analisis isi kualitatif.

Analisis isi kuantitatif, seperti disebut Richard W. Budd, dkk, adalah metode yang sistematik untuk menganalisis pesan dan bagaimana pesan disampaikan (1967:2). Dengan kata lain, analisis isi hanya bisa menjawab dua pertanyaan: apa ciri-ciri pesan yang tertulis dan bagaimana pesan yang disampaikan.
Pertanyaan di luar kedua itu tidak bisa dijawab oleh metode analisis isi. Tetapi, dalam modul ini kita tidak akan membicarakan analisis isi seperti yang diisyaratkan oleh Richard W. Budd dkk di atas. Kita akan menganalisis berita sesuai dengan kepentingan penulisan berita. Ini penting dilakukan mengingat pengetahuan tentang anatomi berita akan memberikan inspirasi bagi calon penulis berita tentang berita seperti apa yang akan ditulisnya.

Secara teoritis, bagaimana para wartawan merefleksikan realitas sosial yang diamatinya bisa dilihat melalui berita-berita yang mereka siarkan. Untuk menganalisis berita tersebut, yang perlu diperhatikan adalah: 1. fisik berita, yang terdiri dari posisi, layout, dan panjang berita; 2. Teknis berita, yang terdiri dari lingkup, tipe, dan fokus berita; 3. Struktur berita, yang terdiri dari judul, lead, dan tubuh berita; dan 4. Kecenderungan isi berita, yang terdiri dari nilai berita, narasumber, kelengkapan, kedalaman, dan aktor yang terlibat (adaptasi dari Siregar 1991:5). Bila diskemakan, kerangka analisis berita tersebut di atas menjadi:

Teknik Menulis Berita Langsung
1.                  1. Pengertian berita langsung
Berita langsung adalah berita yang dibuat untuk menyampaikan peristiwa-peristiwa yang secepatnya harus diketahui khalayak. Karena itu, penulisnya mengikuti struktur piramida terbalik, dengan bagian yang terpenting pada pembukaan berita (LP3Y 1990:1).

2. Pembukaan berita langsung
Sesuai dengan pengertian dan struktur berita langsung, maka hal yang perlu diyakinkan ketika menulis berita langsung adalah menulis unsur nilai berita yang paling kuat dalam lead. Berita tentang kedatangan Lady Di untuk berlibur di Lombok, bisa dimulai dengan lead: Lady Di, setelah pisah ranjang dengan Pangeran Charles, secara diam-diam berada di Lombok untuk berlibur. Kedatangannya yang ditemani........

3. Tubuh berita langsung
(Unsur penting dalam berita ini adalah seorang yang sangat terkenal di Indonesia dan dekat dengan khalayak dalam pengertian emosional). Untuk memudahkan penulisan lead, perlu diungkapkan syarat sebuah lead, yaitu:
a. Panjangnya sekitar 30-40 kata.
b. Tidak diawali dengan kata penghubung.
c. Tidak menggunakan kalimat pasif.
d. Menjawab pertanyaan dua atau tiga unsur dari Apa, Siapa, Mengapa, Dimana, Kapan, dan Bagaimana.
e. Tidak lebih dari satu alinea.
f. Menjawab rasa ingin tahu khalayak.

Dengan keenam persyaratan ini bisa ditulis lead, yang bervariasi, seperti:
a.       Lead bersyarat, yang ditandai oleh kata jika. Misalnya:
Jika mobil yang dikendarai si Ucok tidak mengebut, tentu di Ucok bisa menghidari kecelakaan itu...............................................................................................................

b.      Lead kondisional, yang ditandai oleh kata walaupun. Contoh:
Walaupun jeritan itu tidak keluar dari mulut korban, si perampok urung membunuhnya...............................................................................................................
c. Lead kausal, yaitu lead sebab-akibat, yang ditandai oleh kata sebab atau karena. Misalnya:
Karena tidak ada jalan lain, Tigar terpaksa merampok sebuah bank di bulan Juli silam.............................................................................................................................
d. Lead waktu, yaitu lead yang menekankan dimensi waktu, yang biasanya ditandai oleh kata sesudah atau sebelum. Seperti: Setelah bermain organ non stop 24 jam, Agung menjadi pria terkenal dan disenangi para gadis.....................................................................................................................
e. Lead bertanya, yang dimulai dengan kalimat tanya. Misalnya:
Adakah di antara pembaca yang tidak kenl dengan Michael Jackson?......................

4. Penutup berita langsung
Setelah mendapatkan lead yang menarik, barulah disusul dengan body, yang merupakan kelengkapan berita. Seluruh berita disampaikan paragraf demi paragraf dari keseluruhan fakta, yang merupakan jawaban dari enam pertanyaan pokok jurnalistik.
Sebagai cotoh, saya kutipkan berita yang disiarkan harian Bernas, Yogyakarta, 16 Agustus 1994 berikut:

Sabtu, 07 April 2012

Renungan


#Jeda
Ilustrasi

Alam bawah sadarku bergerak
Alam bawah sadarku bergejolak
Alam bawah sadarku berontak
Alam bawah sadarku berteriak

Hai alam pikir, segeralah bekerja
Hai alam pikir, segeralah berputar
Hai alam pikir, segeralah berbuat
Hai alam pikir, segeralah bertindak

Hari berganti hari
Memori itu hampir meredup
Tahun berganti tahun
Nostalgia itu seakan hilang

Telah datang Dia
Dengan suatu perubahan
Perubahan yang mencengangkan
Mengingatkan kita akan masa lalu

Gelap dalam kegembiraan
Terang dalam kesedihan

Gejolak hati anak kecil
Gembira mendapatkan mainan
Gejolak pikir anak remaja

Haru biru dalam kesmaraan
Semu dan nyata menjadi satu
Hati dan pikir melebur
Air dan api berbaur
Laut dan daratan tak berbatas

Dia menghampiri,
Pikiranku terus menahan
Dia telah dekat,
Hatiku hanya untuk_MU
Inilah saatnya,
Menunjukkan auman sejati ciptaan yang paling mulia,...

Tamiang Layang, 7/4 2012