Senin, 27 Februari 2012

Ketua DPRD Bartim Dituding Memalsukan Surat dan Tanda Tangan


Ketua DPRD Bartim Dituding Memalsukan Surat dan Tanda Tangan
(Dugaan KKN/Pidana Pemalsuan Ketua DPRD Bartim, Bag. III)

Mantan ajudan/staf khusus Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Barito Timur (Bartim), Eka Bakti alias Dapung menuding mantan bosnya yakni Ketua DPRD Kabupaten Bartim, Fristio memalsukan tanda tangannya sehingga mantan ajudan tersebut tidak pernah mendapatkan haknya berupa pembiayaan perjalanan kedinasan yang dibebankan dari Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (DPA –SKPD) Sekretariat DPRD Kabupaten Bartim.
Pria yang akrab dipanggil Dapung tersebut juga mengatakan jika selama 21 bulan menjadi ajudan ketua DPRD Kabupaten Bartim dirinya belum pernah mendapatkan gajinya dalam melaksanakan tugas ajudan Ketua DPRD Kabupaten Bartim.

“Sampai saat ini saya belum pernah mendapatkan gaji yang disebutkan dalam surat keterangan pengangkatan ajudan,” kata Eka, di Tamiang Layang, kemarin (27/2).

Dirinya juga menuding Ketua DPRD dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tersebut memalsukan tanda terima untuk mengambil dana pelaksanaan tugas sebagai ajudan Ketua DPRD Kabupaten Bartim.

“Tudingan ini sangat beralasan karena saya tidak pernah menandatangani tanda terima untuk pendanaan perjalanan dinas, padahal dalam surat keterangan pengangkatan saya jelas disebutkan jika segala biaya yang timbul dalam pelaksanaan tugas sebagai ajudan di bebankan DPA – SKPD Sekretariat DPRD Kabupaten Bartim,” tutur Eka.
Selain itu, Eka mengungkapkan, dulu dirinya pernah dijanjikan jika setiap ada pencairan dana pembiayaan perjalanan dinas akan dibagi dua antara dirinya dan Fristio, tetapi itupun tidak pernah direalisasikan oleh sang Ketua (Fristio).

“Janji tinggal janji, selama ini saya hanya mendapat pesangon dari Fristio yang tidak seberapa besarnya,” ungkapnya.

Masih ungkap Eka, karena selama ini Eka tidak pernah mendapatkan biaya (Perjalanan dinas) Ia pun dijanjikan oleh sang Ketua akan mendapatkan gaji sebesar Rp 3 Juta Per bulan ditambah dengan Rp 100 Juta per tahun.

“Hari mendatang, bulan menjelang, tahun pun tiba namun apa yang dijanjikan sang Ketua pun tak kunjung ada realisasinya, bahkan Fristio mengelak pernah menjanjikannya,” ujar Eka.

Dari sinilah dirinya mengaku tidak lagi bersemangat untuk mengabdi dengan sang Ketua, dan akhirnya si Eka memutuskan untuk mengundurkan diri. Pengunduran dirinya tersebut juga dikarenakan keluarnya surat keterangan perpanjangan tugas yang tidak lagi menyebutkan dirinya sebagai ajudan/staf khusus ketua DPRD Kabupaten Bartim, namun sebagai anggota satuan pengamanan (Satpam) rumah jabatan (Rujab) Ketua DPRD Kabupaten Bartim.

“Jujur saya meragukan keaslian surat tersebut karena berbeda dengan surat yang pertama,” pukasnya.

Di lain sisi, Beni Guritno Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Tamiang Layang mengatakan, karena pemalsuan tanda tangan dan pemalsuan surat tersebut masuk dalam kategori pidana umum dirinya meminta untuk pihak yang dirugikan segera melapor ke Kepolisian.
“Laporkan saja kasus tersebut ke Kekepolisian agar segera mendapat tindak lanjut,” tandasnya.

Di lain tempat, salah satu Praktisi hukum Aryo Nugroho, menjelaskan, jika seseorang terbukti memalsuan surat dan tanda tangan dapat dijerat dengan pasal 263 Kitab  Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman paling lama enam tahun kurungan penjara.

“Pasal 263 Ayat 1 KUHP; Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah – olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun,” jelas Aryo.

Alumnus Fakultas Hukum Universitas Palangkaraya juga menambahkan, Pasal 263 adalah bahwa membuat surat palsu, sebelum perbuatan dilakukan belum ada surat, kemudian dibuat suatu surat yang isinya sebagian atau seluruhnya adalah bertentangan dengan kebenaran. Tidak demikian dengan perbuatan memalsu surat. Sebelum perbuatan itu dilakukan sudah ada sebuah surat yang asli, kemudian pada surat yang asli ini, terhadap isinya termasuk tanda tangan dan nama si pembuat asli dilakukan perbuatan memalsu yang akibatnya surat yang semula benar menjadi surat yang sebagian oleh seluruh isinya tidak benar dan bertentangan dengan kebenaran.

“Selama perkiraan adanya orang yang terperdaya terhadap surat itu, surat itu dibuat memang untuk memperdaya orang lain dan dengan adanya pemalsuan tersebut ada yang dirugikan maka unsur – unsur pasal tersebut terpenuhi,” tambahnya.

Dugaan KKN 18 Paket Fristio (Ketua DPRD Bartim)


Kejati dan Kejari Kumpulkan Data Terkait Dugaan KKN 18 Paket Fristio
(Dugaan KKN Ketua DPRD Bartim, Bag. II)

Dalam pemberitaan sebelumnya, Eka Bakti alias Dapung (41), mantan ajudan ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabuapten Barito Timur (Bartim), Fristio, telah mengungkapkan fakta bahwa dirinya pernah disuruh oleh ketua DPRD Bartim, untuk mencari proyek pekerjaan di Dinas/Instansi (Pengadaan barang dan jasa untuk pemerintah) lingkungan Pemerintah Kabuapten (Pemkab) Bartim dengan mengatasnamakan kedudukannya sebagai Ketua DPRD Bartim. Hal tersebut, kini ditindaklanjuti oleh pihak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kalimantan Tengah (Kalteng) dan Kejaksaan Negeri (Kejari) Tamiang Layang.

Kepala Kejati Kalteng DR Syaifudin Kasim melalui Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Y Gatot Irianto kepada PPost di Tamiang layang, mengatakan, pihaknya belum nenerima laporan dari Kejari Tamiang Layang terkait dugaan Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN) yang dilakukan oleh Fristio dengan menyalahgunakan kewenangannya selaku Ketua DPRD Kabupaten Bartim.

“Kita belum terima laporan dari Kejari Tamiang Layang,” katanya, Jumat (24/2) kemarin.

Namun demikian, Gatot menegaskan pihaknya akan menindaklajuti pemberitaan sebelumnya dengan mengkoordinasikan dugaan kasus KKN tersebut dengan pihak Kejari Tamiang Layang.

“Kita masih belum bisa mengomentari masalah tersebut, namun kita akan berkoordinasi dengan pihak Kejari Tamiang Layang untuk menindaklanjutinya,” pungkasnya.

Terpisah, Kepala Kajari Tamiang Layang, Benny Guritno kepada PPost usai mengikuti acara maulid Nabi Muhammad SAW yang diadakan oleh Tim Penggerak PKK di Gedung Mantawara, Sabtu (25/2) sore kemarin, mengatakan, pihaknya akan mencari akar pokok permasalahan mengenai kebenaran pengakuan Eka Bakti alias Dapung tersebut.

“Kita hanya mengetahui informasi dari media saja, tetapi kita akan melakukan pendalaman dengan mengumpulkan data-data melalui Komisi Intelejen Daerah (Kominda),” ungkapnya.

Jelasnya, mengenai Kominda tentunya bukan dari intelejen kejaksaan saja, tetapi juga melibatkan intelejen dari pihak kepolisian dan pihak-pihak terkait lainnya. Benny juga menjelaskan, jika ada bukti baru yang mengarah terjadinya penyelewengan kekuasaan yang dilakukan oleh fristio, maka tindakan hukum yang akan dikenakan yaitu tindak pidana korupsi (Tipikor).

Ia menambahkan, Fristio merupakan salah satu pejabat publik di Kabuapten Bartim, karena itu, Benny menyatakan akan mengambil langkah-langkah yang intensif, agar dalam proseduralnya tidak gegabah.

Selain itu, Benny juga menghimbau, jika memiliki bukti ataupun data, bisa menyerahkankannya ke bagian Intelejen Kejaksaan atau langsung kepada dirinya. “yaa.....nanti bisa langsung ke Kasi Intel,” imbuh Benny.

Terpisah, pengamat Hukum Bartim, Harry S mengatakan, sesuai dengan pasal Pasal 3 UU No 20 tahun 2011 tentang perubahan atas UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sudah menyatakan mengenai pejabat negara atau penyelenggara negara tidak boleh melakukan pemborongan.

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah),” ungkapnya membacakan ayat perundang-undangan.

Herry meminta pihak Kejati dan Kejari bisa membuktikan kinerja pemberantasan Korupsi sesuai dengan Intruksi Presiden (Inpres) nomor 5 tahun 2004 tentang percepatan pemberantasan Korupsi. Dengan demikian, masyarakat merasakan bahwa tidak ada pandang bulu terhadap pejabata negara yang melakukan perbuatan KKN di bumi Gumi Jari Janang Kalalawah ini.

Di lain sisi, Theodore Badowo salah satu tokoh masyarakat Kabupaten Bartim mengatakan, jika apa yang disebutkan oleh mantan ajudan tersebut benar sudah selayaknya ia di ganti, dan jika informasi tersebut tidak benar seharusnya sang Ketua DPRD tersebut segera melakukan klarifikasi serta membuktikan bahwa dirinya tidak terlibat.

“Jika seorang pejabat publik menyalahgunakan wewenangnya untuk maen proyek, ini sudah tidak benar dan melanggar hukum” tandasnya.

Minggu, 26 Februari 2012

Mantan Ajudan Ketua DPRD Bartim Memoar

Tidak Terima Difitnah, Mantan Ajudan Ketua DPRD Bartim Memoar
(Dugaan KKN Ketua DPRD Bartim, Bag. I)

Lantaran di tuduh menggelapkan uang puluhan juta, Sertikat Rumah dan uang dalam bentuk Dollar, Eka Bakti alias Dapung (41), Mantan ajudan ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Barito Timur (Bartim) Fristio, kepada PPost mengaku kecewa atas fitnah yang sering dilontarkan oleh mantan bosnya terhadap dirinya, karena belakangan diketahui fitnah tersebut disampaikan kepada pejabat – pejabat di daerah lain.

“Saya sangat kecewa terhadap fristio yang telah memfitnah saya,” ujar Eka di kediamannya Jalan Lebo, RT 14 Desa Bantai Karang Kelurahan Ampah Kota Kecamatan Dusun Tengah.

Eka menerangkan, fitnah tersebut mulai ditebarkan oleh Fristio   kepada dirinya sejak dirinya berhenti jadi ajudan Ketua DPRD tersebut, tepatnya pada pertengan Juni 2011 lalu. Sejak itu, Eka mendengar pembicaraan yang tidak enak di tengah-tengah masyarakat, bahkan sampai pejabat dari Kabupaten Barito Selatan ikut mempertanyakan melalui Short Mesagge Service (SMS).

“Pernah ada sms dari pejabat di Kabupaten Barsel (Ibu Atiek/Wabup Barsel, yang mempertanyakan kebenaran fitnah tersebut kepada saya,” ungkapnya kepada PPost, kemarin (22/2).

Kata Eka, dirinya pernah berupaya baik kepada Fristio untuk mendatangi dan berbicara secara empat mata kepada Fristio, namun selalu di tolak. Hal ini membuatnya semakin tidak nyaman. Padahal maksud dan tujuannya, agar bisa diselesaikan secara musyawarah atau melalui jalur hukum.

“Namun, pada tahun 2011 lalu, malah ada dua orang Satuan pengamanan (Satpam) Rumah jabatan (Rujab) Ketua DPRD Kabupaten Bartim, yang mengatakan bahwa dirinya diutus oleh Fristio untuk mendatangi rumah saya,” tutur sang mantan Ajudan.

Eka menerangkan, dirinya merasa semakin dipojokkan, karena satpam tersebut mempertanyakan dana fee atau insentif dari pihak perusahaan yang diserahkan untuk Fristio selama 6 bulan, yang tidak sampai kepada Fristio.


“Saya tidak pernah mengambil insentif milik fristio atau ketua DPRD Bartim dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu, kalaupun ada berdasarkan perintah saudara Fristio dan langsung saya serahkan kepada Fristio Langsung. Yang benar adalah pada tahun 2011 lalu saya disuruh mencari paket pekerjaan oleh Fristio atas nama ketua DPRD Bartim, hasilnya ada 18 paket pekerjaan yang saya dapatkan untuk Ketua DPRD Bartim,” terangnya merincikan.

Selain itu, ungkap pria yang akrab dipanggil Dapung itu juga difitnah telah menilep uang 75 juta dari voucer travel cek yang diberikan salah satu pejabat di Bartim. “Yang saya terima adalah travel cek senilai 175 juta dan langsung saya serahkan kepada Fristio. Tapi saya dituduh menerima Rp 250 juta, sehingga saya difitnah menilep uang Rp 75 juta,” ungkapnya.

Tidak hanya itu, Dapung juga mengungkapkan fakta lainnnya, bahwa dirinya difitnah mengambil sertifikat rumah milik Fristio yang berada di kelurahan Ampah, serta cek dengan senilai Rp 25 juta dan uang dalam bentuk dolar Amerika (USD).

Karena itu, pria yang pernah bekerja selama 21 bulan  sebagai ajundan Fristio itu berpikir, bahwa sudah saatnya dilakukan klarifikasi. Hingga pada hari Kamis (16/2) lalu, saya ingin mengklarifikasi fitnah-fitnah yang dilontarkan oleh fristio. Sebelum sampai di Tamiang Layang (Rujab Ketua DPRD Kabupaten Bartim), dapung bertemu dengan Fristio di sebuah Warung makan Nasi Sop di Ampah.

“Saat itu saya ingin mengklarifikasi ke Tamiang layang, minta antar sama isteri saya, namun belum sampai terminal, saya melihat mobil dinas Ketua DPRD Bartim di warung makan nasi sop. Sontak saya langsung menyinggahinya dengan maksud ingin mengklarifikasi. Tetapi malah di tolak,” ungkapnya.

Lanjutnya, penolakan fristio tersebut dengan nada kasar, seperti ucapan. “Saya tidak kenal dengan saudara, silakan saudara pergi karena saya tidak punya urusan dengan saudara lagi,” ungkap Dapung menirukan kata Fristio. “Selain itu, Fristio juga ingin memukul saya” kata Dapung.

“Fristio sempat melepas cincinnya ingin memukul saya, ajudannya juga demikian. Malah Fristio meminta ajudannya untuk memukul saya lebih dulu, namun ajudannya juga tidak berani,” tandas Dapung.

Eka yang akrab di panggil Dapung melanjutkan, melihat kondisi lain, dia langsung pulang kerumahnya dengan mengambil sebilah Mandau (Senjata khas Dayak). “Saya datang lagi ke warung itu dan saya minta untuk Fristio yang memakai baju merah untuk keluar. Hei kamu yang baju merah......ayo keluar Namun Fristio tidak berani keluar. Malahan ada banyak polisi yang berjaga-jaga dan menenangkan saya,” ungkapnya.

Dapung mengaku kecewa atas fitnah yang dilontarkan oleh Fristio yang saat ini menjabat sebagai Ketua DPRD Barito Timur. Seyogyanya, orang yang menjabat sebagai ketua DPRD bisa menyelesaikan masalah tanpa memifitnah orang lain atau menjelek-jelekkan orang lain.

“Seseorang yang memiliki sifat-sifat seperti itu tidak pantas menjabat sebagai ketua DPRD,” katanya.

Terpisah, pemilik warung makan nasi sop, Iksan mengatakan tidak mengenal dengan fristio, apakah yang bersangkutan adalah Ketua DPRD Bartim atau pejabat daerah, namun, iksan membenarkan kalau di warungnya terjadi keributan pada Kamis (19/2).

"Saya juga tidak tahu apa yang dibicarakan, karena memakai bahasa dayak Ma'anyan pak," ungkap isteri Iksan.

Ketua DPRD Bartim Fristio yang ingin di konfirmasi masalah ini  sedang melakukan Dinas Luar. Hal tersebut dikatakan oleh pegawai Sekretariat DPRD Kabupaten Bartim.

Jumat, 24 Februari 2012

Jurnalisme Anti Kolonialisme


Oleh; Fahruddin Fitriya

Sangat penting mengenal bahasa, karena bahasa bukan saja alat pemersatu tapi juga pembentuk “Nation” itu sendiri. Pers atau bacaan telah mengambil peran pertama kali pada hal ini, karena perannya yang telah menggugah kesadaran kaum terjajah dan mengenalkan pertama kali basaha melayu. Seperti yang dijelaskan Takashi Shiraishi, dalam “An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926”, bahwa pergerakan anti kolonialisme mengenal beberapa tahapan pada awalnya, yaitu bacaan dan Pers, vergadering dan Pemogokan, serta aksi politik dan partai. Maka, menarik untuk mendiskusikan kehadiran bacaan dan pers dalam konteks perjuangan anti-kolonialisme di Indonesia.

Koran Sebagai Pembentuk Kesadaran Nasional (Jurnalisme Anti Kolonialisme Bag. I)

Koran Memasuki abad 20, sebuah zaman baru dalam politik kolonial, yakni zaman etis, sedang dimulai. Tentu saja semangat utama dari zaman baru ini adalah modernitas, yang menurut pribumi adalah kemajuan, yakni sebuah perkembangan yang tetap harus dibawah pengaruh dan pengawasan bangsa kolonial. Pengalaman yang diperoleh kaum pergerakan dari sekolah dan gaya pendidikan kolonial bukan saja pengertian akan kebiasaan-kebiasaan, kebudayaan modern, dan sekulerisme, tapi juga tumbuhnya “kesadaran nasional” sebagai bumiputra, dan mengejar bersama-sama kesetaraan dan kesejajaran dengan bangsa-bangsa lain. Mereka mulai mencari makna akan keberadaan mereka. Kaum muda yang terdidik di Ujung Pandang, Batavia, Bandung, Semarang, Solo, Jogjakarta, dan seluruh Hindia Belanda, sedang mencari dan berbagi gagasan tentang bangsanya. Sebelum menemukan nama “INDONESIA”, kaum muda ini sudah menemukan alat kelembagaan untuk mengungkapkan kesadaran “nasionalnya”, yaitu surat kabar atau Koran bumi-putera.

Pada awalnya, penerbitan surat kabar dan percetakan dimonopoli oleh pemerintah kolonial, kemudian diikuti oleh orang-orang tionghoa. Kaum pribumi sendiri ambi bagian didalamnya, pertama sebagai pekerja magang pada Koran-koran tersebut, setelah itu menjadi redakturnya, dan akhirnya dapat mendirikan Koran dan penerbitan sendiri. beberapa terbitan pribumi yang pertama kali, seperti Pewarta Prijaji, Retnodhoemillah, dll, tidak mengekpresikan kepentingan nasional tersebut, tapi lebih banyak berguna untuk kepentingan kolonial.

Pada tahun 1903, muncul jurnalis muda dan seorang pribumi, yaitu RM Tirtoadhisuryo, yang mendirikan Soenda Berita, dan kemudian merintis pendirian Medan Prijaji, pada tahun 1907. Medan priayi menjadi Koran terkemuka pada masa itu, dengan jumlah pelanggan 2000 orang pada awal 1911. meskipun menggunakan nama “medan priayi, surat kabar ini bukan menjadi alat kaum priayi; bangsawan, raja-raja, ataupun saudagar, tapi menjadi milik kaum terperintah. “Bangsa” kini mulai menemukan batas-batas yang jelas, dalam hal ini seperti diungkap Tirtoadhisuryo sebagai “anak negeri” hindia belanda. R.M. Tirto Adhi Soerjo, meminjam istilah Pramoedya, adalah "kenyataan hulu" atau kenyataan historis yang merupakan cikal bakal dari "kenyataan hilir" tokoh Minke dalam tetralogi Pramoedya. Dalam tetralogi keempat, Rumah Kaca, disebutkan oleh sang pencerita orang pertama, Jacques Pengemanan, bahwa Minke bukan nama yang diberikan ayahnya. Inisial Minke sebenarnya Raden Mas Tirto Adhi Soerjo.

Menurut Pram, "Sarekat Priyayi" merupakan peletak dasar bahasa Melayu sebagai alat komunikasi nasional. Cikal bakal bahasa Indonesia tersebut disebarluaskan melalui organ surat kabar Sarekat Priyayi, Medan Priyayi. Tentang hal itu, Robert Templer dalam Prospect Magazine berkomentar, "Tirto Adi Suryo, a pioneer of Indonesian journalism in the first decade of this century and an important figure in the development of nationalism."

Koran dan Pergerakan anti Kolonial (Jurnalisme Anti Kolonialisme Bag. II – Selesai)

Beberapa tokoh pegerakan, terutama sekali pada masa awal, merupakan seorang jurnalis. Misalnya E.D dengan De Expres, Mas Marco dengan Doenia Bergerak, Sneevlit dengan De Volharding, dan Haji Misbach dengan Medan Moeslimin-nya. Tapi tampilnya Koran dalam kancah pergerakan anti colonialism bukan karena kebetulan pengelolahnya adalah aktifis, tapi karena Koran telah menjadi organ perjuangan yang mengambil tempat penting dalam pertarungan gagasan. Sejak awal, Marco berkehendak memunculkan “perang suara” melalui Doenia Bergerak. Marco bersuara lantang mengeritik pengaruh aristokrat dan pedagang batik di dalam tubuh organisasi SI, terutama Tjokro dan H. Samanhudi. Demikian pula, dengan kritiknya terhadap D.A Rinkes, penasehat urusan bumiputera, karena begitu banyak membantu Tjokro dalam mempebesar pengaruh di SI.

Ketika vergadering dan pemogokan sudah mengambil tempat dan berlansung dimana-mana, Koran dan terbitan selalu diselipkan ditengah-tengah massa sebagai pegangan. Ibaratnya, tak lengkap mendengar pidato-pidato politik dari para tokoh pergerakan, tanpa menyimak fikiran-fikiran dan tulisannya. Silang pendapat, pertentangan gagasan, antar tokoh pergerakan ataupun dengan kolonial, dapat dibaca kaum bumiputra dari Koran-koran pergerakan. Dari situ, keingin-tahuan rakyat semakin besar, dan hampir setiap vergadering dan rapat-rapat umum pergerakan selalu disesaki oleh rakyat, sekedar untuk mendengarkan pidato dan debat.

Tidak dapat dipungkiri, bahwa koran pergerakan mengambil posisi berfihak pada perjuangan anti-kolonial, dan tidak mentoleransi sikap kompromi terhadap kebijakan penjajah. Medan moeslimin misalnya, yang selain mengeritik kebijakan kolonial, juga menggunakan gambar kartun untuk menyindir para bangsawan yang menjadi kaki tangan kolonial. Demikian pula dengan Tjipto yang menyerang kekuasaan sunan dalam Koran Penggoegah dan Volksraad. Tjipto menganggap, bahwa Amangkurat II dan keturunannya adalah budak-budak VOC berikut penggatinya, Negara Hindia Belanda. Sudah barang tentu, serangan Tjipto kepada Sunan do Volksraad dan Penggoegah , merupakan pembeberan politik paling menghancurkan dari yang pernah dilakukan terhadap mandulnya politik dan kememahan sultan.

Ketika ISDV muncul, peranan Koran sebagai alat propaganda semakin menempati ruang dalam pergerakan. VSTP menerbitkan majalah bernama ‘Si Tetap’ sampai mencapai 15.000 eksemplar, dengan memperkenalkan ajaran ilmu pengetahuan tentang sosialisme. Dalam hal ini, masalah yang diangkat bukan hanya seputar perundangan kolonial yang merugikan buruh, tapi juga aspek-aspek dari relasi produksi kapitalis yang menghisap pekerja.

pada tahap ini, peran Koran sebagai pembentuk kesadaran “nation” telah meningkat menjadi pergerakan, dan Koran menjadi bagian dari pergerakan itu sendiri. dalam fase ini, Koran telah mewadahi beberapa hal; pertama, sebagai media menyampaikan kebusukan-kebusukan dan ketertindasan dibawah penindasan kolonial, maupun sisa kekuasaan feudal yang cenderung memihak kepada Belanda. Kedua, mewadahi perdebatan diantara kalangan pergerakan, berupa pandangan-pandangan soal isu-isu politik dan prinsip-prinsip perjuangan. Ketiga, mendorong politisasi dan radikalisme rakyat, selain melalui vergadering, juga mulai dimassalkannya terbitan dan Koran-koran pergerakan.

#Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Sastra Pendar Pena#

Selasa, 21 Februari 2012

Kaum Muda Oportunis Musuh Besar Revolusi


Kaum Muda Oportunis Musuh Besar Revolusi (Bag.I – Selesai)

“Berikan aku 10 pemuda terbaik, akan kuubah negara ini menjadi negara termaju di dunia!" Panglima Besar Revolusi, Ir. Soekarno

Suatu ketika ada seorang kawan menelpon dan mengatakan kalau kaos Lenin itu bahaya, sejenak aku berfikir bahwa usianya memang masih belia tapi ucapannya mirip lansia (lanjut usia). Anak muda seperti ini ternyata jumlahnya cukup banyak di negeri ini. Mahkluk jenis ini adalah generasi yang terlalu banyak makan dan kebanyakan nonton acara hantu di televisi. Hingga tempurung kepalanya penuh nasi dan darahnya lebih banyak mengalir? rasa takut!!!

“Sebuah  revolusi bukan adegan pesta makan malam” Kalimat itu suka sekali diucapkan Mao. Saat digelar revolusi di China, Mao bergerak lincah seperti seekor kijang. Gempuran yang keras dari kaum kapitalis tidak lantas membuatnya tumbang. Mao punya energi spartan seperti Che Guevara yang berparas tampan dan tegas. Keduanya memiliki kesanggupan untuk bertahan, menahan kekalahan sekaligus menyerang dengan cepat. Sama dengan Imam Khomeini yang petuah dan sikap hidupnya terus mendendangkan lagu perlawanan. Hal yang juga dialami oleh Lenin, yang diduga karena terlalu banyak menggunakan otak sampai pada kematiannya. Orang-orang itu, sepertinya diciptakan dalam “cetakan” yang khusus.

Disebut khusus karena mereka melakukan sesuatu yang sekarang mungkin dianggap tidak masuk akal. Khomeini menjatuhkan kekuasaan syah Reza yang jadi boneka mainan Amerika. Che menumbangkan Batista dengan serangan gerilya yang cekatan dan militan. Sedangkan Lenin menumbangkan kekuasaan Tsar yang tiran dan penindas. Mereka melakukannya, dengan motif dan cita-cita raksasa. Mendirikan negara komunis hingga menetapkan sistem politik Islam. Di tangan Lenin tulisan Marx berbuah gerakan. Di tangan Khomeini ajaran dalam Qur’an menjadi revolusioener. Hingga saat ini mereka adalah? inspirasi banyak kaum pergerakan. Tapi tak selamanya membaca tulisan Marx jadi radikal. Sama halnya tak semua pembaca Qur’an akan menjelma jadi sosok Khomeini. Tulisan maupun seruan Lenin belum tentu membuat orang lantas jadi bernyali. Malahan tak sedikit mereka ketakutan, cemas, dan kuatir.

Dulu mereka mungkin pemberani mungkin juga aktivis yang giat di jalanan bahkan pernah kena sentuhan sel penjara, bentrok dengan polisi dan tentara bisa jadi menu sehari-hari. Tapi nyali itu bisa di makan usia. Keberanian kerapkali kurang bertahan lama di badan. Semangat perlawanan dan anti kemapanan nyatanya mengenal kata istirahat. Uang dan jabatan pastilah mampu membuat mereka bersimpuh. Nyali berganti dengan watak pengecut. Suara kritis berbelok ke arah kompromi. Dan sikap anti kemapanan berbalik jadi pribadi borjuis yang haus popularitas dan posisi. Sehingga ketika menjadi pengecut, mereka sibuk membela diri.

Di sekitar kita, memang ada banyak kaum muda yang tidak betah lapar. Sebagian dari mereka juga agak nyiyir terhadap mimpi revolusi. Bahkan ada pula yang sinis hanya karena rekan-rekan muda yang lain memakai kaos perlawanan. Mereka kerapkali menyebut diri dengan sosok yang realistis. Pribadi yang seolah-olah tidak memiliki motif raksasa. Sejenis ego yang tak mampu melihat apapun yang berbau mimpi dan imajinasi kecuali dengan semangat merendahkan. Di mata kepala mereka, hidup itu tak perlu mimpi.

Yang menakjubkan, mereka bukanlah kawanan penganggur. Ada yang duduk dalam posisi kekuasaan. Opini mereka tentu bermotif melunakkan udara perlawanan. Ada yang duduk sebagai pengusaha. Motifnya yang mungkin adalah mengeruk laba. Tetapi yang mengejutkan, ada anak muda yang duduk sebagai aktivis yang punya pandangan seperti itu. Mereka yang menolak perubahan melalui revolusi dan lebih menyukai metode yang lunak serta jelas-jelas didukung lembaga donor. Mereka semua adalah pengkhianat revolusi yang jauh lebih berbahaya ketimbang barisan serdadu. Dengan kantong yang tebal serta pengalaman travelling kemana-mana, mereka adalah tanaman yang dibonsai. Mereka besar bukan karena nyali perlawanan tapi karena “loyalitas dan kepatuhan” buta pada kaum cukong pemegang uang.

Kaum Muda Oportunis Musuh Besar Revolusi (Bag.II – Selesai)

Jenis utama musuh yang sesungguhnya ditentang oleh Ali Syariati dan Imam Khomeini adalah Orang-orang pintar omong yang sebenarnya tidak kerja demi rakyat. Rakyat di kalimat mereka, hanyalah himpunan orang-orang yang berkumpul karena perlu untuk di “proyekkan”. Lenin mengecam barisan yang tidak punya dedikasi dan kedisplinan. Karena mereka selalu punya pandangan dengan disiplin ala serdadu. Yang mereka rindukan dan disenangi adalah popularitas. Bahkan tak jarang mereka menginjak sesama anak muda, untuk menduduki tangga popularitas itu. Mulutnya saja ngomong tentang demokrasi padahal kerjaannya melakukan penindasan imajinasi. Mereka kini memenuhi, bukan saja NGO/LSM, melainkan dunia profesi yang bersentuhan dengan kegiatan seperti hukum, medis, hingga pendidikan. Semua lini yang mengarah kepada orang-orang miskin. Andai Che Guevara masih hidup, tentu ia akan menghimpun bergerilya melawan mereka.

Mereka seperti barisan pendukung Batista yang loyal dan juga kaya. Bagaimana anak-anak muda ini bisa radikal, jika gaya hidup serta konsumsi mereka jauh dari apa yang dimakan sehari-hari oleh rakyat miskin. Jika saja Imam Khomeini masih segar tentu anak-anak muda ini yang ia peringatkan pertama kali. Tapi mereka tak mungkin patuh dengan Khomeini, yang terus mendesak untuk aksi ke jalan meski moncong senapan diarahkan ke muka. Kalau Lenin masih tegak pasti kelompok anak-anak muda ini akan dikenakan disiplin untuk pertama kali. Revolusi, yang menuntut sikap tegas, tidak memerlukan mereka yang ragu-ragu apalagi skeptis terhadap mimpi. Revolusi jadi menarik, karena ia energik, imajinatif, dan menolak keragu-raguan.

Mungkin karena itu revolusi muncul hanya dalam slogan. Sebab anak-anak muda pendukungnya berada dalam situasi yang sakit dan cacat. Pertama, mereka tidak suka mimpi perubahan yang radikal dan besar. Uang telah membikin mereka jadi anak muda yang berurusan dengan hal-hal sepele dan sederhana. Uang tidak membuat mereka bergegas membikin karya besar. Kenikmatan mereka diukur dengan badan dan perut mereka sendiri. Kedua, anak-anak muda ini begitu rakus dan haus popularitas. Lensa kamera yang ukurannya kecil itu dijadikan sasaran untuk menayangkan muka mereka yang letih dan penuh polesan. Ukuran aktivitas bukan sejauh mana dampaknya bagi rakyat melainkan dimuat tidaknya di media. Ketiga, karena itu mereka meneguhkan diri sebagai kawanan sekuler dan liberal karena mereka berbuat, bertindak, dan bersikap tanpa dasar nilai sama sekali. Mereka tidak beragama, tapi mereka juga bukan atheis atau marxis. Mereka tidak beragama karena memang malas diikat oleh aturan-aturan.

Satu-satunya ikatan di antara mereka hanyalah uang. Selama uang berkibar maka apapun akan dikerjakan. Selama uang bisa memenuhi kantong maka semua akan dilakukan. Karena istilah uang itu agak kasar, maka coba disebut kata logistik untuk menghaluskannya. Bagaimana kita bisa bergerak kalau logistiknya tidak ada? Itulah semburan yang dilontarkan. Sudah pasti mereka tidak tahu, berapa modal yang dipunyai Lenin saat memulai Revolusi Oktober. Mereka pasti tidak ingat bagaimana Marx yang lapar mampu melahirkan karya Das Kapital. Mereka juga tidak ingat bahwa perubahan bukan datang dari konsep-konsep proposal.

Revolusi memang dicetak oleh anak-anak muda yang bernyali. Almarhum Romo Mangun selalu bilang, bukan anak muda jika tidak radikal! Sikap radikal adalah karakteristik orang yang disebut muda. Muda, radikal dan karenanya militan. Terhadap uang, sikap anak muda adalah seperti novel Knut Hansum yang berjudul lapar, enggan, malu dan tidak akan meminta. Karena ia tahu, martabatnya tidak diukur dari berapa uang yang dimiliki. Terhadap jabatan apalagi. Persis sikap Einstein yang menolak jadi penguasa karena ilmu fisika jauh lebih asyik ketimbang duduk didampingi pengawal. Tapi terhadap petualangan pelawanan, ia akan mengatakan, ya! dan terjun bergerak. Novel dan film The Old Man and The Sea, karya Ernest Hemingway, menuturkan bagaimana seorang layaknya menyambut petualangan. Inilah sikap anak muda mas Marco Martodikromo hingga Che Guevara. Mereka adalah anak muda yang selalu curiga, dengan kenyataan. Anak muda yang hidupnya dimodali dengan pertanyaan, bukan segebog rupiah atau dollar.

Di Tulis di Semarang, 28/10 2009, Sebagai Bahan Refleksi Pemuda dan Mahasiswa Se-Jateng, Dalam Acara “Panggung Rakyat” Yang digelar Mahasiswa Pro-Demokrasi Jawa Tengah (MaPro-Dem Jateng) Setiap Malam Bulan Purnama+1 di Perempatan Purnama Universitas Negeri Semarang.

Penulis; Fahruddin Fitriya, Alumnus FH UNNES dan FPBSI IKIP PGRI Semarang.

Minggu, 19 Februari 2012

Pengelolaan Batu Bara

Carut marut industri batu bara dan amanat pasal 33 UUD 45

*Fahruddin Fitriya

Jika kita melihat dari tahun ke tahun peran batubara sebagai sumber daya energi selalu mengalami peningkatan dan kita bersama ketahui bahwa batubara merupakan salah satu sumber daya energi yang sangat strategis bagi pembangunan negeri ini dalam jangka panjang. Betapa tidak, pada level global, sumber daya alam yang berasal dari endapan senyawa organik karbonan dan terbentuk dari sisa tumbuh-tumbuhan selama jutaan tahun ini perlahan tapi pasti dapat menggeser natural resources lainnya, seperti minyak, sebagai sumber utama energi dunia.  International Energy Agency (IEA) memprediksi konsumsi batubara dunia akan tumbuh rata-rata 2,6% per tahun pada periode 2005-2015. Kini, batubara telah menjadi pemasok energi kedua terbesar setelah minyak dengan kontribusi 26% dari total konsumsi energi dunia.  Kontribusi ini diprediksi akan meningkat menjadi 29% pada 2030.

Dari perhitungan diatas Kontribusi batubara bagi pembangkit listrik juga diperkirakan akan meningkat menjadi 46% pada 2030. Meningkatnya kontribusi batubara di masa kini maupun mendatang membuat komoditi ini memiliki nilai jual yang sangat besar, yang tentunya akan berdampak pula bagi  negara yang menjadi produsen komoditas tersebut, termasuk Indonesia.

Indonesia menjadi 7 besar penghasil batubara dan melihat kenyataan itu sudah semestinya Indonesia dapat mengakumulasikan profit ditengah menaiknya trend konsumsi batubara dunia. Pada tahun 2010 saja, Indonesia telah memproduksi 325 juta ton dan Kalimantan sendiri mempunyai andil yang teramat besar dari angka tersebut yaitu sebesar 220 juta ton. Sebanyak 160 juta ton diekspor, sementara 60 juta ton digunakan untuk berbagai industri dan pembangkit listrik di Jawa dan Sumatera (Kompas, 10/3) metrik batubara (Sumber : EIA; Economist Intelligence Unit). Output ini diperkirakan bertambah di tahun 2011 ini, ketika Indonesia berhasil merealisasikan produksi batubara sebanyak 150 juta ton pada semester pertama dan diprediksi akan meningkat hingga 370 juta ton pada akhir tahun 2011 (Sumber : Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia ). Peningkatan volume produksi ini terjadi ditengah trend konsumsi yang meningkat serta (ini yang terpenting) tingginya harga batubara internasional per Oktober 2011,  yakni sebesar 119,24 dollar AS per ton. Namun, apakah fakta-fakta obyektif terkait peningkatan nilai jual komoditi batubara tersebut memiliki korelasi dengan kualitas pembangunan ekonomi nasional serta  peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia? Pertanyaan tersebut layak diajukan mengingat batubara telah menjadi sumber daya bernilai strategis bagi negara dan terkait dengan  hajat hidup orang banyak.

Ironi ditengah Keberlimpahan

Sebagai salah satu komoditi energi yang bernilai strategis bagi kepentingan nasional, pengelolaan industri  batubara mestinya mengacu pada pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan penguasaan Negara atas sumber-sumber alam strategis dan berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Ini juga termasuk orientasi dari pemanfaatan sumber daya alam, yakni demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Sebagai bukti dari nilai strategis  batubara dalam perekonomian nasional adalah peningkatan penerimaan negara dari industri batubara. Pada tahun 2008, penerimaan negara dari industri ini mencapai Rp 10,2 triliun, dan meningkat lagi hingga lebih dari Rp 20 triliun pada tahun 2009. Sebagai sumber energi, peran batubara sebagai salah satu pemasok energi bagi pembangkit listrik nasional semakin besar. Kini, sekitar  71,1% dari konsumsi batubara nasional dialokasikan untuk pembangkit listrik yang sangat dibutuhkan bagi pertumbuhan ekonomi rakyat serta industrialisasi nasional.

Tetapi, fakta memperlihatkan bahwa pengelolaan industri batubara di Republik ini seperti mengabaikan ‘titah’ pasal 33 UUD 1945. Padahal, pasal 33 UUD 1945 adalah warisan para founding fathers guna mengatur perekonomian nasional. Salah satu bukti yang menunjukkan hal tersebut tampak pada sektor hulu industri pertambangan batubara yang dikuasai oleh perusahaan swasta nasional, bukan oleh Negara atau perusahaan Negara (BUMN). Direktorat Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Indonesia mencatat bahwa 71,7% produksi batubara Indonesia dikuasai perusahaan swasta nasional, dan sisanya perusahaan asing. Korporasi swasta nasional tersebut diantaranya Bumi Resources Group (PT.Kaltim Prima Coal dan PT Arutmin), Adaro, Berau Coal dan Indominco Mandiri. Sebagai catatan: meskipun kepemilikan saham dalam perusahaan-perusahaan tersebut didominasi oleh swasta nasional, namun skema investasi mereka kebanyakan penanaman modal asing (PMA).

Bila kita mencermati tiga ayat dalam pasal 33 UUD 1945 (pra-amandemen2002), kiprah pihak swasta nasional (maupun asing) dalam industri strategis negara sama sekali tidak dilarang. Namun, bila modal swasta nasional maupun asing sudah begitu dominan menguasai cabang-cabang produksi vital negara, hal itulah yang melanggar pasal 33 UUD 1945 secara substansial. Perlu dipahami, pasal 33 UUD 1945 merupakan buah pikir para pendiri Negara yang menginginkan bangsa ini berjalan diatas rel sosialisme Indonesia yang berasas kekeluargaan dengan tujuan: Masyarakat adil dan makmur. Dan Negara Kesatuan Republik Indonesia beserta seluruh perangkatnya dibentuk  untuk menjalankan amanat itu demi tercapainya tujuan nasional. Sementara perusahaan  swasta yang sedari awal didirikan dengan maksud mencari profit sebesar-besarnya tidaklah dapat dipercaya untuk mengelola sumber-sumber ekonomi strategis negara demi kemakmuran rakyat.

Akibat dari penguasaan pihak swasta terhadap industri batubara nasional ialah alokasi dari hasil operasi  produksi tambang yang sangat minim bagi kepentingan nasional. Sudah menjadi rahasia umum, bila sebagian besar hasil produksi batubara nasional diekspor ke negara-negara lain semacam Jepang, India, Taiwan dan Tiongkok. Berdasarkan data Kementerian ESDM, dari total realisasi produksi batubara nasional pada semester pertama 2011 yang mencapai 150 juta ton, sekitar 121 juta ton ‘dilempar’ ke luar negeri alias diekspor. Ini berarti sekitar 80% dari ouput produksi batubara nasional di semester awal tahun ini diperuntukkan bagi kepentingan negara-negara lain, bukan kepentingan nasional.

Sungguh ironis! Data World Coal Institute pun menunjukkan, sejak tahun  2004 Indonesia telah menjelma menjadi  eksportir batubara thermal (thermal coal) terbesar dunia, ketika rakyat dan industri nasional sedang membutuhkan banyak batubara jenis tersebut guna menggerakkan pembangkit-pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) demi memenuhi kebutuhan akan suplai listrik. Besarnya jumlah batubara yang diekspor dari Indonesia disebabkan oleh tingginya harga batubara internasional, yang kemudian menggoda para pelaku industri batubara swasta nasional untuk mengejar profit dengan mengekspor hasil produksinya ke pasar internasional.

Selain alokasi hasil produksi yang teramat minim bagi kebutuhan nasional, dominasi modal swasta dalam industri  batubara yang sepi dari kontrol negara juga mengancam penerimaan negara dari sektor bisnis ini. Kasus ‘pengemplangan’ royalti  oleh beberapa perusahaan batubara yang sebagian berada dalam naunganBumi Resources Group beberapa tahun lalu menjadi pelajaran penting bagi negara untuk tidak melalaikan tugasnya mengontrol pengelolaan sumber alam yang vital bagi kepentingan bangsa.

Bila negara konsisten melaksanakan pasal 33 UUD 1945, tentu industrialisasi nasional demi tercapainya kemakmuran rakyat tak akan menjadi sebatas impian. Hal ini karena melimpahnya cadangan batubara di negeri ini. Merujuk pada data World Energy Council, Indonesia memiliki cadangan batubara terbukti sebesar 4,3 miliar ton. Sementara jumlah ini  akan lebih besar bila cadangan yang belum terbukti turut disertakan dalam penghitungan tersebut, mengingat banyak daerah yang diprediksi masih menympan banyak sekali cadangan batubara namun belum tersentuh eksplorasi, terutama di Pulau Kalimantan dan Sumatera. Tetapi berbagai fakta ironis yang telah penulis uraikan memaksa kita untuk tetap bermimpi akan terwujudnya industrialisasi nasional, yang sangat membutuhkan suplai listrik dalam skala cukup dan tarif yang tak terlalu tinggi. Belum lagi bila kita tinjau pula kerugian yang diderita masyarakat dan dunia industri akibat seringnya pemadaman listrik oleh PLN di berbagai tempat di negeri ini akibat kekurangan bahan bakar utama bagi pembangkit listrik, yakni batubara!

Konsistensi dan Peran  Negara

Dapat disimpulkan bahwa problem terbesar dalam pengelolaan industri batubara negeri ini adalah begitu dominannya peran swasta serta minimnya peran Negara. Minimalitas peran negara terjadi akibat inkonsistensi otoritas negara ini dalam melaksanakan pasal 33 UUD 1945. Memang telah ada kebijakan negara terkait pemenuhan kebutuhan domestik akan batubara atau Domestic Market Obligation(DMO) yang tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM No.34 tahun 2009. Dalam permen tersebut, seluruh  pelaku industri batubara di Indonesia wajib mengalokasikan  35% hasil produksinya ke pasar dalam negeri. Namun, lihat kembali prosentase angka yang diwajibkan pemerintah tersebut, yakni 35%, berarti 65% dari hasil produksi masih dapat diekspor, yang berarti prosentase terbesar dari keseluruhan total produksi. Terlihat betapa negara bagaikan  “malu-malu” menggunakan kewenangannya demi kepentingan nasional.

Batubara, sebagaimana sumber daya energi lainnya yang terkandung di ‘perut bumi’ merupakan aset berharga bagi bangsa ini guna menyokong tercapainya kemakmuran rakyat seperti yang termaktub dalam pasal 33 UUD 1945. Sudah seharusnya Negara mengambil alih kontrol atas industri batubara nasional dari hulu hingga hilir dengan bersandarkan pada pasal 33 UUD 1945 secara konsisten, tetapi tanpa menafikan peran pihak swasta tentunya. Hal ini sangat dibutuhkan demi pemulihan kedaulatan rakyat akan sumber daya alam yang telah tergerus sekian lama.

*Alumnus Balitbang DPP LMND
Palangka Raya, 15/11 2011

Sabtu, 18 Februari 2012

Lahan Bodong


19.500 ha Lahan perusahaan Tambang dan Perkebunan Sawit di Bartim Terindikasi Bodong

Beberapa waktu lalu Kementrian Kehutanan (Kemenhut) Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum (PMH) menemukan beberapa bukti, sebanyak 1.236 perusahaan tambang dan 537 perusahaan perkebunan sawit di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat beroperasi tanpa izin, Salah satunya terjadi di Kabupaten Barito Timur (Bartim). Potensi kerugian negara akibat kegiatan ilegal yang dilakukan sejak sejak 10-15 tahun lalu tersebut mencapai Rp311,4 triliun.

Dalam acara di salah satu televisi swasta, Darori, yang juga Dirjen Kemenhut menjelaskan, di provinsi Kalimantan Tengah, ditemukan 282 unit perusahaan perkebunan yang beroperasi tanpa izin dengan total luas lahan yang digunakan 3.934.963 hektare (ha), sedang untuk perusahaan pertambangan sebanyak 629 unit dengan luas lahan yang digunakan 3.570.518,20 ha. Lebih khusus lagi Ia menyebutkan, Di Kabupaten Bartim sendiri telah ditemukan ada tiga kasus dengan luas 19.500 ha. Menurutnya, perusahaan-perusahan yang melakukan pelanggaran ini adalah perusahaan besar, karena memegang konsensi lahan yang mencapai ribuan ha. Namun Ia juga tidak mau menyebut nama-nama grup perusahaan yang dimaksud.  “Kami tidak sebut nama perusahaannya karena baru indikasi, tentu akan ditindaklanjuti nantinya,” ungkap Darori.

Dalam acara tersebut dirinya juga mengungkapkan, Pihaknya (Kemenhut, red) akan membentuk tim gabungan yang melibatkan, Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim), Jaksa Agung Muda Tindak Pidana  Umum (Jampidum), Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Kejaksaan Tinggi (Kejati) serta Kepolisian Daerah (Polda). “Tim gabungan ini dibentuk untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan atas pelanggaran penggunaan kawasan hutan tersebut,” tuturnya.

Dia menambahkan, Pada Tahap awal pihaknya sudah menahan salah satu pengusaha warga negara tetangga, tetapi karena kepentingan penyelidikan pihaknya belum bisa menyebutkan nama warga negara asing tersebut kepada media.

Dalam acara lain, Anggota Satgas PMH, Mas Achmad Santosa, menjelaskan, adanya keterkaitan perusahaan-perusahaan ini dengan group perusahaan besar, Mas Achmad Santoso hanya mengatakan, “Mungkin saja ada bagian dari kelompok-kelompok usaha besar, tapi sebaiknya kita tidak menekankan soal itu karena di mata hukum semua sama,” katanya.

Dia juga mendesak KPK untuk mengusut tuntas kasus ini, karena disinyalir ada keterlibatan dan praktik tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pengusaha dan pejabat daerah, “ Semoga saja Tim gabungan nantinya ngga masuk angin danmendeg di tengah jalan,” tegas Mas Achmad.


Jumat, 17 Februari 2012

RUU PT Hasil "Kloningan" UU BHP


Oleh; Fahruddin Fitriya*
Palangkaraya, 29 November 2011

Kehebohan di dunia pendidikan yang semakin carut marut ini kembali merebak, pemantiknya tak lain tak bukan adalah sebuah Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi (RUU PT). penolakan terhadap RUU ini muncul dari berbagai kalangan akademisi (Mahasiswa, PTN, PTS dan dari beberapa pihak praktisi pendidikan lain ”red). Jika kita menilik dari tahun-tahun sebelumnya penolakan yang sama juga pernah terjadi terhadap UU BHP (Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan) No.9 Tahun 2009 yang berujung dengan Judicial review dan akhirnya UU tersebut dibatalkan oleh MK (Mahkamah Konstitusi). MK melalui mahfud MD menyatakan bahwa UU BHP tidak memiliki kejelasan maksud dan keselarasan dengan UU lain (Kompas, 31/3/2010). Sejalan dengan Prof. Tilaar, dalam RUU PT ada ketentuan reinternasionalisasi Perguruan Tinggi, jika universitas tidak global maka tidak dapat melanjutkan kuliah di luar negeri, padahal ilmu pengetahuan itu harus universal bahkan sebelum diundangkannya RUU PT pun sudah banyak lulusan PT di bangsa ini yang melanjutkan kuliahnya di luar negeri. Bahkan beliau melihat bahwa RUU PT hanya sebagai legalisasi terhadap bisnis jasa pendidikan di bangsa ini dan hanya menjadikan pendidikan sebagai komoditas bisnis.

Jika dilihat dari kepentingan RUU PT ini hanya bentuk reaksi dari beberapa pihak atas penolakan dan pembatalan UU BHP di MK beberapa waktu lalu, secara subtansial semangat liberalisasi dan kapitalisasi pendidikan dari RUU PT masih ada. Dari berbagai aspek RUU ini masih banyak kelemahan karena hanya sebagai perwujudan baru dari UU BHP yang pada dasarnya isi dan rohnya sama. Dan jika kita kaji dari sisi kajian filosofis, sosiologis dan yuridis juga sangat lemah karena tidak adanya materi muatan dalm RUU PT yang diamanatkan oleh UUD 1945 dalam pengaturannya melalui UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003. Di dalam Ayat 3 Pasal 31 UUD 45 menyebutkan “Pemerintah menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional dalam satu Undang-undang”, Undang-undnag yang dimaksud adalah UU No.20/2003 tentang Sisdiknas yang didalamnya juga mengatur tentang pendidikan tinggi, amanat yang ada dalam UU Sisdiknas tersebut tidak untuk membuat UU baru melainkan membuat peraturan pemerintah (PP) karena Pasal 53 ayat 4 yang mengamanatkan pembentukan UU BHP sudah dibatalkan oleh MK. Serta dalam putusan MK paska pembatalan UU BHP juga tidak mengamanatkan pembentukan RUU PT, jadi pembentukan RUU PT tidak memiliki rujukan yang jelas. Dari aspek sosiologis juga sangat lemah karena masyarakat tidak pernah mendesak adanya legal formal sebagai dasar pembentukan RUU PT. Hanya ada desakan dari beberapa Perguruan Tinggi yang sudah menjadi BHMN (Badan Hukum Milik Negara) untuk segera disahkan UU PT sebagai dasar BHMN agar tidak kehilangan otonominya serta PT BHMN ini tidak harus mematuhi PP No. 66 tahun 2010 mengenai perubahan atas PP No. 17 tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan. Dalam PP ini ada banyak hal yang menguntungkan bagi masyarakat yang memiliki keterbatasan ekonomi, karena PP ini mengamanatkan pemerintah atau pemerintah daerah untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat yang mempunyai keterbatasan ekonomi tetapi memiliki kemampuan akademi yang memadai untuk ikut serta menikmati pendidikan tinggi dengan biaya ringan bahkan gratis (diatur secara rinci dalam pasal 53A PP 60/2010).

Selain itu ada kekhawatiran lain tentang RUU tersebut, karena RUU ini masuk ke DPR demikian cepat dan sudah jelas ini tidak prosedural, pembuatan RUU ini hanya melalui Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di DPR yang hanya melibatkan kaum elit kampus ternama, khususnya kampus yang selama 5-10 tahun terakhir merasakan nikmatnya candu skema privatisasi pendidikan berlabel BHMN. Padahal dalam penyusunan RUU juga harus didahului dengan kajian yang mendalam. Beberapa hal yang harus RUU lalui, diantaranya kajian white paper hingga legal drafting. Jadi sudah pasti RUU ini akan mengalami banyak penolakan dari berbagai elemen masyarakat terkhusus para akademisi dan para praktisi pendidikan di bangsa ini, yang kemudian ada judicial review dengan Cost yang besar. Tapi kerugian yang lebih besar lagi akan dialami bangsa ini jika RUU PT tetap disahkan.

Harapan saya dalam pembentukan peraturan untuk Perguruan Tinggi, baik dalam bentuk PP atau UU mestinya sederhana saja. Pertama, kita harus melihat sisi dan manfaat kemasyarakatan; bagaimana agar akses masyarakat terhadap Perguruan Tinggi itu mudah, mudah disini bukan dipermudah soal ujian masuknya tapi sistem dan mekanismenya. Bukan penerimaan yang didasarkan pada kemampuan membayar. Saya rasa penerimaan mahasiswa baru pada masa lalu (Orde Baru “red) yang hanya menggunakan dua model yaitu PMDK (Penelusuran Minat Dan Kemampuan, istilah sekarang Jalur Undangan) dan Sipenmaru (Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru istilah sekarang Seleksi Bersama) merupakan model penerimaan mahasiswa yang ideal, karena calon mahasiswa dari kalangan miskin maupun kaya memiliki kesamaan hak untuk dapat diterima di PTN. Yang kedua, dari sisi perguruan tinggi adalah bagaimana para pengelola Perguruan Tinggi diberi otonomi dalam pengelolaan keuangan sehingga proses penganggaran dan penggunaan dana di Perguruan Tinggi dapat lebih fleksibel, tidak seperti halnya penggunaan dana APBN pada umumnya. Hal itu guna menjamin kelancaran proses belajar mengajar di Perguruan Tinggi. Jangan sampai kegiatan praktikum terhambat hanya karena pembelian bahannya belum ditenderkan. Perguruan Tinggi harus memiliki fleksibelitas dalam menggunakan dana yang berasal dari APBN untuk menunjang kegiatan belajar mengajarnya. Ketiga, PP Atau UU tersebut dapat memfasilitasi pengembangan PTS (Perguruan Tinggi Swasta) dengan cara memberikan bantuan dan kemudahan birokrasi agar PTS yang bersangkutan dapat berkembang dengan baik. Bukan sebaliknya, regulative terhadap PTS tapi pelit untuk memberikan bantuan. Bahkan terkesan pemerintah lepas tangan terhadap PTS, karena jika RUU ini diundangkan maka pemerintah hanya akan memberikan bantuan/subsidi bagi Mahasiswa tidak mampu di PTN saja. Keempat, PP atau UU itu mestinya memberikan kejelasan tanggung jawab pemerintah terhadap penyelenggaraan pendidikan tinggi. Baik PTN maupun PTS. Sehingga bila ada maju mundurnya Perguruan Tinggi, masyarakat dapat dengan mudah menunjuk kepada pemerintah sebagai penanggung jawab.

Tapi dari harapan-harapan itu sama sekali tidak tertuang dalam RUU PT. Dalam pasal 63 ayat 1 yang mengatur mengenai penerimaan mahasiswa baru; dalam penjelasannya masih membuka peluang jalur mandiri yang selama ini dikritik masyarakat karena terlalu komersial serta memperjelas watak diskriminasinya terhadap mereka yang mempunyai keterbatasan ekonomi. Ironisnya hal tersebut justru dikuatkan dalam RUU PT ini. Di sisi lain tentang pengaturan dana tidak ada kejelasan, mulai pasal 51-56 mengenai otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi tidak memberikan fleksibilitas penggunaan dana. Pasal 52 ayat 1 hanya membagi otonomi menjadi tiga tingkatan (otonom, semi otonom dan otonom terbatas) tapi tidak dijelaskan secara khusus mengenai tingkatan-tingakatan tersebut. Ini cukup menjelaskan bahwa RUU PT hanya menegaskan tentang kastanisasi di PTN yang ada selama ini, terbagi dalam PT BHMN, PT BLU (Perguruan Tinggi Badan Layanan Umum), dan PTN Reguler.

*Alumnus FPBSI IKIP PGRI Semarang dan FH UNNES serta Penggiat Jaringan Diskusi dan Kajian Ilmiah Pemuda Palangkaraya. (Paper ini disampaikan dalam Forum Diskusi Mahasiswa, 26/11)