Jumat, 20 Juli 2012

Rumus Sakti Para Jurnalis


Begitu banyak jenis tulisan kalau kita mau menggolong-golongkannya. Ada fiksi dan nonfiksi. Ada berita hardnews dan analisa. Ada pula biografi, esai, artikel, skrip radio dan teve, editorial, weblog, surat cinta dan segudang lainnya. Jangan lupa, ada yang berkaitan dengan bisnis, seperti surat penawaran, minutes meeting, dan ribuan jenis business letter.

Lupakan dulu kategorisasi yang memusingkan kepala. Karena sebagian besar jenis tulisan bisa dikatakan baik dan benar bila memenuhi rumus baku yang sama. Yakni 5W + 1H. Itulah rumus sakti yang menjadi pegangan saya ketika menjadi jurnalis di Bisnis Indonesia, majalah PROSPEK dan terakhir di majalah SWA (ya, profesi awal saya adalah jurnalis, kurang lebih lima tahun saya menjalaninya dengan penuh suka cita).

Rumus macam apa itu? Sederhana sekali:

W1 = What
W2 = Who
W3 = When
W4 = Where
W5 = Why
H = How

WHAT adalah apa yang akan kita tulis. Tema apa yang ingin kita ungkapkan. Hal apa yang ingin kita tuangkan dalam tulisan. What ini bisa apa saja. Bisa soal “Lumpur Lapindo yang tidak selesai-selesai”, “Situs porno diharamkan dan akan diblokir Pemerintah”, “Bagaimana bisa menjadi kaya, sukses sekaligus mulia?” atau topik yang sedang hot di dunia gosip: “Apakah anak kandung Mayangsari juga anak kandung Bambang Tri?”.

What yang kita tentukan ini akan menjadi dasar untuk 4W lainnya. Mari kita ambil topik mengenai Mayangsari saja. Mumpung masih hangat.

WHO adalah siapa tokoh yang menjadi tokoh utama di WHAT. Dalam studi kasus ini, who-nya minimal bisa tiga tokoh: Mayangsari, Bambang Trihatmodjo, dan sang anak yang baru berusia dua tahun: Khirani Siti Hartina Trihatmodjo. Yang pertama dan kedua sudah amat terkenal. Sosok mereka sudah tertulis di mana-mana.

Meski Who is Mayangsari sudah banyak yang tahu, masih banyak sisi lain yang menarik untuk dieksplorasi. Bahkan kebungkamannya mengenai tes DNA anaknya, menjadikan sosoknya makin layak tulis, sampai-sampai bagaimana ia merayakan ulang tahun anaknya secara diam-diam dan bagaimana ia menjenguk ibunya di rumah sakit dijadikan bahan pemberitaan. Suasananya hati Mayangsari digali dengan baik sehingga makin menegaskan sosoknya dalam menghadapi isu anak kandungnya.

Buat kita, yang tidak perlu jadi wartawan untuk bisa menulis sebaik mereka, Who harus menjadi bagian yang berkaitan dengan What. Kalau kita ketemu Who yang tidak dikenal target pembaca kita, maka kita harus mengupasnya dengan baik sehingga jelas keterkaitannya dengan What.

WHEN adalah waktu kejadian WHAT. Ini yang sering diabaikan oleh banyak penulis pemula. Kapan kejadiannya akan memberi tambahan informasi dan imajinasi pembacanya.

WHERE adalah tempat kejadian WHAT. Meski kelihatannya sepele, tempat kejadian ini punya makna. Ketika Jose Mourinho berkunjung ke Milan tiga hari lalu misalnya, segera merebak isu ia mau pindah ke Inter Milan. Coba kalau ia perginya ke Bali, kemungkinan besar tak akan ada isu itu.

WHY adalah mengapa terjadi WHAT. Ini yang paling menarik karena bisa dikupas dari berbagai sudut. “Permintaan tes DNA keluarga mantan presiden Soeharto terhadap anak Mayangsari” bisa dikupas dari sisi hukum, keluarga maupun pribadi. Bahkan kalau mau diseret jauh hingga ke dunia mistis, misalnya minta diteropong oleh ahli nujum.

HOW adalah bagaimana WHAT terjadi, bagaimana prosesnya, lika-likunya, dan sejenisnya.

Yang jelas, dengan 5W+1H, tulisan kita dari segi kelengkapan informasi – sekali lagi: kelengkapan informasi — tidak akan mengecewakan pembaca kita. Kalau ada yang kecewa itu biasanya karena disebabkan oleh kekurangtepatan kita mengungkap WHY dan HOW-nya di mata pembaca.

Jangan salah faham: rumus ini bukan hanya untuk nulis artikel, esai atau tulisan serius lain. Bahkan surat lamaran kerja, undangan meeting, surat cinta bahkan diskusi pendek-pendek di berbagai milis, rumus ini amat penting untuk menghindari kesalahpahaman dan kekuranglengkapan informasi.

Cukupkah berbekal rumus baku di atas? Tidak. Bagi mereka yang ingin menulis dan mendapat respon pembacanya, ada satu hal lagi yang tidak kalah pentingnya dari rumus 5W+1H. Yakni “Daya Tarik Tulisan”. Nanti akan dibahas dalam tulisan berikutnya.

Sumber; Anymous.

Jumat, 29 Juni 2012

JURNALIS, MEMBACA DAN SOSIAL MEDIA



“Berapa orang di antara rekan-rekan yang pernah meliput bencana?” Sontak tangan-tangan pun terangkat tinggi penuh semangat. “Oke, kalau begitu pasti tahu dong undang-undang penanggulangan bencana kita nomor berapa. Atau setidaknya ada yang pernah membacanya?”

Suasana mendadak hening mengiringi wajah-wajah jurnalis-jurnalis yang sebagian tersenyum-senyum, sebagian kaget dan sebagian lagi menengok pada rekan di samping kanan kirinya. Sebagian besar pun lantas berujung pada gumaman tak jelas dan gelengan kepala.

Itulah gambaran sekilas kejadian saat workshop tentang peliputan anak di situasi bencana, di Jogja pertengahan Oktober lalu. Pesertanya beragam, dari media cetak sampai elektronik, dari reporter sampai fotografer, dan dari yang baru enam bulan menjadi jurnalis hingga yang sudah belasan tahun meski mayoritas memang wartawan-wartawan muda.

Geli juga, campur prihatin, saat melihat dari yang serba beragam itu ternyata memiliki kecenderungan yang sama yaitu jarang membaca. Gelinya karena sedikit banyak saya pun sebenarnya punya kecenderungan itu. Baru belakangan ini saja saya sedang berusaha keras doyan membaca, sebuah kebiasaan lama saat harus mengerjakan tugas kuliah.

Tentu saja prihatin, karena membaca bagi jurnalis sebenarnya merupakan salah satu alat verifikasi selain tentu untuk memperkaya background dan kedalaman tulisan atau karya jurnalistik lain. Praktis yang marak digunakan saat ini masih tetap sama, yaitu pernyataan untuk memverifikasi pernyataan alias jurnalisme ludah. Dalam soal kebencanaan misalnya, bagaimana kita bisa tahu pemerintah telah melalaikan kewajibannya bila apa persisnya kewajiban itu berdasarkan UU saja kita tak pernah baca. Akibatnya kita hanya mengamini saja pernyataan dari pejabat, DPR, pengamat dsb.

Padahal ada begitu banyak dokumen yang mesti dibaca sebagai rujukan atau verifikasi berita. Tak cuma undang-undang, tapi juga aturan lain di bawahnya, kemudian juga APBN/APBD, jurnal-jurnal dan beragam tulisan/tayangan di internet terkait studi kasus bencana serupa yang terjadi di negara lain dsb.

Kualitas terancam

Memang tidak berarti lantas seorang jurnalis harus membaca semuanya itu. Namun saat dia intens membuat berita di bidang tertentu, maka setidaknya sumber-sumber bacaan yang terkait segera diakrabi.

Lagi-lagi merasa geli karena ingat saat berdiskusi dengan beberapa rekan soal penolakan UU Kebebasan Informasi Publik dan mereka berkomentar itu lebih berdampak pada pemerintah dan LSM, bukan pada jurnalis dan ternyata mereka melihat UU itu saja belum apalagi membacanya. Atau juga saat ramai-ramai teman-teman wartawan di sekitar saya menolak UU ITE, ternyata tak satu pun yang pernah membacanya secara utuh, termasuk saya waktu itu hehehe…

Jangankan terkait sumber berita, yang sudah membaca Kode Etik Jurnalistik saja berdasarkan survei terakhir masih jauh dari separuh. Tak perlulah saya dengan sok tahu memaparkan lebih detil bahayanya situasi ini bagi kualitas jurnalistik di Indonesia.

Namun lantas muncul gugatan, para jurnalis (terutama yang masih aktif sehari-hari reportase lapangan) memiliki beban kerja yang terlalu berat terutama dibandingkan upahnya. Kadang baru bisa pulang malam, capek, paginya harus keliling lagi cari berita dst. Tak ada waktu tersisa untuk memelajari hasil karya sendiri yang udah diedit, apalagi menggeluti bahan bacaan lain. Masih untung kalau tersisa waktu untuk nge-tweet, update status Facebook atau BBM-an untuk saling bertukar informasi liputan. Nah, kalau menurut Anda?

Senin, 18 Juni 2012

JURNALISTIK STYLISTIK ALA LAMPU HIJAU


Koran, Lampu Hijau
BERIKUT judul berita utama (HL) koran Lampu Hijau: "Siswi Kelas 1 Paling Cakep di Sekolah. 1 Cowok Sukses Macari Sukses Juga Nyetubuhi. Cerita ke Teman, Si Teman Nyetubuhi juga. Temen Cerita ke 2 Teman Lain, Nyetubuhi Lagi. Hamil 5 Bulan Bapaknya Bingung Mana yang Dipilih Jadi Ayah si Bayi."

#Judul "luar biasa" tapi "biasa saja"

Para mahasiswa saya minta membawa surat kabar "seru" dan "seram" itu untuk dianalisis apakah bahasa yang digunakan koran yang diterbitkan Grup Jawa Pos itu masuk wilayah jurnalistik stylistik atau bukan.

Bahasa dan cara menulis berita, termasuk judul berita Lampu Hijau memang tidak lazim dipakai koran arus utama yang sangat patuh pada mazab ilmu jurnalistik yang santun.

Lead berita di atas dibuka dengan kalimat seperti ini: "Kita panggil saja cewek ABG itu Bunga (nama samaran). Kini cewek 14 tahun yang masih duduk di bangku kelas 1 sebuah SMP di Subang ini hamil 5 bulan. Yang membuat tanda tanya warga, siapa cowok yang menghamili cewek asal Sumedang itu. Rupanya, yang menyetubuhinya ada 4 cowok dalam waktu berbeda. Semuanya kakak kelas Bunga."

Menganalisis koran yang harga ecerannya dibandrol Rp 2.000 itu, mahasiswa tentu tertawa, karena menemukan judul berita dan kalimat berita yang tidak lazim, meskipun mereka mengaku sudah pernah melihat koran yang sebagian besar beredar di Jakarta dan pantura Jawa Barat itu.

Kelas saya bagi menjadi dua kelompok mahasiswa untuk mendiskusikan koran tersebut. Kelompok pertama berpendapat, sepanjang Lampu Hijau memberitakan berita-berita yang ada faktanya (faktual), maka apa yang termuat di koran itu merupakan karya jurnalistik.

Di mata kelompok I, manajemen Lampu Hijau telah melakukan terobosan jurnalistik dan pasar. Pasar yang disasar, menurut kelompok ini, adalah pembaca kelas menengah ke bawah atau kelompok prasejahtera.

Sedangkan terobosan jurnalistiknya, demikian kesimpulan kelompok I, dapat dilihat dari tagline-nya yang berbunyi: "Love, Pren & Piss". Terobosan jurnalistik ini juga dapat dilihat dari cara awak redaksi Lampu Hijau dalam membuat judul berita yang cenderung atraktif (vulgar) dan panjang.

Kelompok ini lalu menunjukkan Lampu Hijau edisi 4 Oktober 2011 yang judul berita utamanya tertulis: "Pulogadung Gempar. Ada Pocong Mejeng Kerekam Handphone. Bocah Subuh-subuh Loncat-loncat (Ya iyalah Masak Pocong Ngesot). Kata Dukunnya Lampu Hijau, Si Bocah Bisa Jadi Ponari tuh."

Masih menurut pengamatan kelompok 1, Lampu Hijau juga memuat informasi-informasi berbau mistik/klenik, tapi koran ini juga mengajak kelompok prasejahtera untuk "melek" informasi dan peristiwa-peristiwa yang sedang hangat dibicarakan publik (politik, ekonomi dan olahraga) dengan bahasa yang santai. Tapi mayoritas isi tetap berita-berita kriminal dan seks.

Kelompok 2 menilai Lampu Hijau punya segmen pasar sendiri, yaitu kelas menengah ke bawah. Pembaca kelas itu disuguhi dengan bahasa berita yang tidak baku dan vulgar. "Tapi inilah style yang dimiliki Lampu Hijau, yaitu sengaja melanggar tata bahasa dan membolehkan wartawan beropini," kata salah seorang anggota kelompok 2.

Fakta yang diperoleh wartawan juga didramatisasi saat ditulis menjadi berita. Sesuatu yang biasa dibikin sensasional. Kelompok ini lalu menunjukkan salah satu berita yang dimuat Lampu Hijau edisi 3 Oktober 2011. Di sana tertulis: "Cowok ini Nggak Tahu Diri. Diajak Teman Kerja Malah Nyuri. Temen Dipecat si Cowok Lari. Pas Ketemu Lagi Dibikin Begini." Di kolom berita tersebut terdapat foto seorang laki-laki yang wajahnya bengap akibat dipukul.

Kelompok 2 berkesimpulan, apa yang ditulis Lampu Hijau merupakan bagian dari jurnalistik stylistik yang tujuannya "menghibur" pembaca.

Menurut mereka, Lampu Hijau sah-sah saja menyajikan karya jurnalistik seperti itu, sebab sampai sebegitu jauh, Lampu Hijau adalah koran resmi yang diterbitkan oleh perusahaan pers yang memiliki badan hukum.

Kelompok 1 dan 2 sama-sama berpendapat bahwa pembaca Lampu Hijau adalah kelompok kelas menengah ke bawah.

Siapa mereka? Mahasiswa menjawab sopir angkot, tukang becak, kuli bangunan dan sejenisnya.

Saya lalu minta mereka membuktikan dan melaporkannya secara tertulis dalam bentuk makalah. Salah satu kelompok menemukan fakta seperti ini:

1. Di Tanah Abang Jakarta Pusat. Menurut Andi, penjual koran Lampu Hijau: "Saya menyediakan Lampu Hijau 50 eksemplar, sedangkan Kompas 60 eksemplar. Yang lebih cepat habis terjual adalah Lampu Hijau. Biasanya pembeli koran Lampu Hijau adalah sopir angkutan, tukang parkir, dan kuli bangunan. Sedangkan Kompas, pembelinya adalah orang kantoran, mahasiswa, dan penjual kios di Tanah Abang.

2. Di gedung BNI 46, menurut Pak Ditto (penjual koran): "Di sini memang ada koran Lampu Hijau. Saya menaruh stok cuma 20 eksemplar, soalnya tidak terlalu laku dibanding koran lain, seperti Pos Kota atau Kompas.”

3. Berdasarkan keterangan pedagang eceran di daerah Jakarta Pusat: "Biasanya pembaca Lampu Hijau adalah kalangan menengah ke bawah, seperti sopir angkutan, kuli bangunan, penjual atau pedangang kaki lima. Ada sebagian kalangan menengah ke bawah yang juga membaca Kompas, Media Indonesia, dan Pos Kota.

"Dari survei yang dilakukan di tiga tempat, sepertinya memang Lampu Hijau menargetkan pangsa pasar mereka untuk kalangan menengah ke bawah. Style yang digunakan Lampu Hijau dibuat sesimpel mungkin agar bisa menarik perhatian mereka untuk membeli dan membaca koran."

Begitu kesimpulan para mahasiswa. Sependapatkah Anda dengan mereka?***
____________________________________________________________
_____________________________________
________________

Dikutip dan atas seizin yang empunya blog (Pak dosen "Bahasa Indonesia Jurnalistik"), diposting ulang semata-mata untuk pendidikan.

Sabtu, 26 Mei 2012

Teknik Menulis Features


Penulisan feature merupakan salah satu pilar dalam media massa. Feature yang pada umumnya merupakan sebuah liputan yang tidak terikat pada pakem straight news atau current event merupakan tahap berikutnya dalam penulisan jurnalistik.

Menulis feature memerlukan latihan yang cukup lama. Tidak seperti menulis atau memberikan laporan mengenai current event, peristiwa yang sedang berjalan, penulisan feature perlu sedikit kontemplasi, renungan dan mempertajam situasi dibalik berita.

Bagaimana menuangkan gagasan dari berita menjadi sebuah tulisan featuris ?

Inilah tantangan yang tidak mudah. Beberapa hal bisa dipikirkan di bawah ini:

1. Fokus terhadap peristiwanya. Kebakaran pasar adalah kerangka berita utama hari itu, namun perjalanan manusia didalamnya, perjuangan pedagang yang sudah puluhan tahun memutar modal kemudian hangus tanpa asuransi merupakan sebuah bahan feature menarik.

2. Fokus kepada manusia. Cerita manusia didalam sebuah peristiwa, atau cerita seseorang dibalik peristiwa merupakan sebuah kasus menarik untuk diangkat. Rasa simpati penulis terhadap nasib salah satu korban tabrakan di jalan tol, misalnya akan menggugah para pengambil kebijakan untuk memperketat laju kendaraan di tol. Cerita mengenai manusia dibalik berita akan memberikan bobot pada laporan utama.

3. Tuangkan dalam tulisan yang menyentuh. Tidak seperti pemberitaan yang lugas, kurang emosional, maka tulisan bentuk feature bisa dijadikan sebagai sebuah karya jurnalistik yang menyentuh kehidupan inti manusia, tentang hidup dan mati, tentang cinta dan pengkhianatan dan tentang patriotisme, misalnya. Disini memerlukan sedikit keterampilan dalam mengolah karya tulis ini. Bahasa dari dunia sastra akan bermanfaat untuk memperhalus alur cerita tanpa terjebak kedalam cerita fiksi.

4. Ending yang berkesan. Kekuatan feature adalah menarik pembaca kedalam tulisan sampai titik terakhir. Buatlah alur tulisan yang mengarah kepada klimaks yang membuat pembaca penasaran akan cerita didalam tulisan itu. Ending cerita mungkin bukan kemenangan atau keberhasilan subyek cerita tetapi mungkin tatapan masa depan yang suram.

Jumat, 25 Mei 2012

Sembilan Prinsip Peliputan dan Penulisan Berita Kriminal


Meliput dan menulis berita kriminal sebenarnya tak jauh beda dengan meliput dan menulis berita lainnya. Namun, ada sembilan prinsip dasar yang sebaiknya diketahui oleh wartawan peliput kasus-kasus kriminal. Prinsip-prinsip ini bersifat penuh dan mengikat. 

Berikut sembilan prinsip yang dimaksud.

Berita kriminal adalah laporan terkini yang disiarkan kepada publik terkait peristiwa-peristiwa kejahatan yang dilakukan oleh seseorang, sekelompok orang, atau sebuah organisasi. 

Sebuah peristiwa disebut peristiwa kriminal jika memenuhi tiga unsur utama, yakni pelaku, tindak kriminal, dan adanya korban. Unsur lainnya yakni keberadaan saksi, tempat kejadian perkara, barang bukti, dan modus operandi.

Pelaku, korban, dan saksi, adalah nara sumber utama dalam sebuah berita kriminal. Namun, dalam kasus kriminal dikenal pula nara sumber lain yang disebut sebagai nara sumber resmi yang data, informasi, maupun statement yang dikeluarkannya merupakan data, informasi, dan statement resmi yang dinyatakan benar secara hukum dan boleh dikutip untuk disiarkan.

Termasuk dalam katagori nara sumber resmi adalah lembaga penegakan hukum seperti kepolisian dan peradilan, pihak rumah sakit, organisasi, lembaga atau instansi terkait jika kasusnya melibatkan sakit, organisasi, lembaga atau instansi, serta pengacara dari kedua belah pihak yang berbicara atas nama pelaku atau korban. Kerap juga dimasukkan ke dalam nara sumber resmi adalah pernyataan pihak keluarga baik itu keluarga pelaku atau korban.

Untuk dapat meliput dan menulis sebuah berita kriminal dengan baik, adalah wajib bagi seorang wartawan untuk memiliki pengetahuan yang memadai tentang hukum, terutama terkait dengan peristiwa yang sedang ditanganinya.

Wartawan juga harus memiliki pengetahuan yang cukup tentang berbagai aturan hukum terkait apa yang boleh dan tidak boleh dipublikasikan, termasuk beragam istilah atau bahasa hukum dan peradilan seperti apa itu tersangka, apa itu terdakwa, apa yang dimaksud dengan terlapor, apa yang dimaksud dengan pledoi, dakwaan, juncto, dan sebagainya. 

Ini semua adalah pengetahuan wajib yang menjadi prinsip dasar liputan dan penulisan berita kriminal dan pengadilan. Sebab, apa pun output-nya, adalah haram mencederai peluang pihak mana pun untuk mendapat peradilan yang fair dan dan tak memihak, baik sengaja atau pun tak sengaja. Bagi wartawan dan media massa, kewajiban ini bersifat penuh dan mengikat. 

Akurasi, adalah hal mendasar lainnya yang harus diperhatikan oleh seorang wartawan yang meliput dan menulis berita kriminal. Sajikan fakta secara tepat tanpa menambah atau menguranginya. 

Memutuskan meliput dan menulis sebuah kasus kriminal berarti memutuskan untuk mengikuti dan melaporkan kasus itu hingga selesai. Jadi, sebelum menyentuh sebuah kasus, pertimbangkan benar apakah sebuah kasus layak untuk Anda liput dan Anda siarkan. Jika sebuah kasus tidak ada hal yang menariknya bagi publik Anda, sebaiknya tidak menyentuhnya sama sekali karena saat Anda melaporkannya, Anda wajib melaporkannya hingga akhir.

Minggu, 20 Mei 2012

Menulis Berita Kriminal, Sedikit yang Menarik?


Ilustrasi; Sumber Ist
Bergantian, para mahasiswa mata kuliah penulisan berita, Sabtu (19 November 2011) mengoreksi naskah berita kriminal karya (tugas) teman sendiri. Hasilnya, hanya empat berita yang menurut mereka menarik.

Total naskah berita yang masuk ada 31. Itu berarti 12 mahasiswa tidak mengerjakan tugas, karena jumlah mahasiswa kelas penulisan berita ada 43 orang.

Seperti biasa, sebelum mengumpulkan tugas, para mahasiswa saya minta agar membaca dulu secara bergantian naskah berita yang ditulis teman-temannya.

"Tempatkan diri Anda sebagai pembaca surat kabar. Adakah berita karya teman Anda yang memiliki nilai tinggi?" saya bertanya.

Tidak ada yang angkat tangan. Pertanyaan yang sama saya ulang. Dua mahasiswa lalu angkat tangan.

"Adakah berita kriminal yang Anda baca, penting untuk banyak orang, termasuk Anda?" kembali saya bertanya. Setelah pertanyaan itu saya ulang, dua mahasiswa angkat tangan.

"Adakah di antara Anda yang merasa puas setelah membaca berita-berita yang ditulis teman Anda?" saya lagi bertanya. Hanya dua mahasiswa yang angkat tangan.

"Sekarang perhatikan judul berita yang ditulis teman-teman Anda, apakah ada yang menarik?" tanya saya. Tidak ada yang angkat tangan.

Pertanyaan yang sama saya ulang. Saya tunggu beberapa detik, tak juga ada mahasiswa yang angkat tangan. Kesimpulannya, tak satu pun judul berita yang mereka tulis menarik.

Setelah saya membaca karya para mahasiswa, judul berita yang mereka tulis memang tidak menarik dan terkesan asal tulis, yang penting berjudul, seperti ini:

1. Kriminalitas Penghipnotisan Sepeda Motor
(Komentar dosen: Sepeda motor memang bisa dihipnotis? Judul ini akan lebih pas jika diganti menjadi: Pengemudi Sepeda Motor Dihipnotis).

2. Penganiayaan Kepada Ketua RT
(Komentar dosen: Waduh, penganiayaan ini "barang" apa sih, kok bisa dikirim/diberikan kepada Pak RT? Akan lebih afdol jika judul itu diubah menjadi seperti ini: Ketua RT Dianiaya).

3. Beratnya Kebutuhan Hidup Mendasari Tindakan Pencurian
(Komentar dosen: Serius sekali ini mahasiswa, membuat judul berita mirip tema kuliah subuh. Mungkin maksudnya seperti ini: Butuh Hidup Nekat Mencuri).

4. Perampokan Gagal Luka Tembak Bersarang
(Komentar dosen: Luka tembak memang bisa bersarang? Yang bersarang itu luka tembak atau peluru. Judul ini akan lebih pas jika diganti seperti ini: Gagal Merampok, Pelaku Tembak Korban atau Ditembak setelah Gagalkan Aksi Perampokan).

Sebenarnya ada beberapa mahasiswa yang menulis judul berita cukup menarik, seperti ini:

1. Kebutuhan Mendesak, Kejahatan Bertindak
2. Cucak Ijo Hilang (berita tentang warga Bekasi yang kehilangan burung cucak ijo seharga Rp 2,5 juta).
3. Polisi Bekuk Calo PNS
4. Tersangka Pembunuhan Ternyata Mantan Atlet
5. Tukang Ojek Dibius, Motor Raib

Sayang memang, hampir semua mahasiswa masih mengalami kesulitan dalam menuangkan fakta (peristiwa) ke dalam naskah berita. Mahasiswa yang menulis judul berita Tukang Ojek Dibius, Motor Raib, menulis lead beritanya seperti ini: Seorang tukang ojek terkapar di pinggir emperan ruko, diduga ia habis terkena bius oleh penumpang yang habis ia antar.

Lead di atas akan lebih enak dibaca jika ditulis seperti ini: Seorang pengojek, diduga korban pembiusan, ditemukan terkapar di emperan sebuah ruko di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (15/11).

Penulis berita "Tersangka Pembunuhan Ternyata Mantan Atlet" juga kurang mahir menulis lead yang ditulis seperti ini: Senin, 14 November 2011, DTP (18), tersangka pembunuhan yang menewaskan seorang Manajer PT. AG. Sukses Mandiri, Novi (28) pertengahan bulan Juni lalu akhirnya tertangkap kemarin setelah menjadi buronan jajaran Polresta Depok selama lima bulan.

Lebih bagus jika lead di atas ditulis seperti ini: Polisi Depok, Senin (14/11) akhirnya menangkap DTP (18) setelah tersangka pembunuh Novi, manajer PT AG Sukses Mandiri ini buron lima bulan.

Mahasiswa yang menulis berita "Polisi Bekuk Calo PNS" pun tidak kreatif dalam menulis lead padahal di dalam lead ada unsur menarik (nama pelaku Muslihat). Lead ditulis seperti ini: Kepolisian Sektor Pancoran Mas, Depok, membekuk seorang tersangka yang diduga sebagai pelaku penipuan. Tersangka bernama Muslihat alias Jhoni bin Hasbullah (50) diduga menipu korban untuk masuk menjadi menjadi pegawai negeri sipil (PNS) di Pemerintah Kabupaten Bogor.

Catatan dosen: Ada logika yang menganggu. Perhatikan kalimat kedua lead. Siapa yang akan masuk menjadi PNS? Membaca kalimat di atas, yang akan masuk menjadi PNS adalah Muslihat alias Jhoni. Bagaimana supaya Muslihat bisa jadi PNS? Membaca kalimat di atas, jawabnya adalah dengan cara menipu korban.

Lead di atas akan lebih masuk akal jika ditulis seperti ini: Polisi Pancoran Mas Depok membekuk Muslihat yang diduga melakukan tipu muslihat calon pegawai negeri sipil (PNS) yang melamar ke Pemerintah Kabupaten Bogor.

Sebagian besar mahasiswa memang belum mahir menulis berita. Tapi tak apalah. Saya tetap memberikan apresiasi, sebab sebagian besar di antara mereka benar-benar melakukan liputan di lapangan disertai dengan bukti. Ada mahasiswa yang berfoto bersama dengan nara sumber (Pak Polisi) dan korban, melampirkan fotokopi KTP korban dan fotokopi surat tanda penerimaan laporan/pengaduan.

Halo para mahasiswa, teruslah berlatih. Jangan menangis atau meringis jika dosen memberikan nilai jeblok. Jadikan nilai itu sebagai pemicu untuk menjadi mahasiswa profesional. Pasti bisa.

Sumber; Write Now

Sabtu, 05 Mei 2012

Blog, Jurnalisme dan Prosumsi


Maraknya blog adalah maraknya kecenderungan “prosumsi”. Istilah prosumsi diperkenalkan Alvin Tofler melalui “Future Shock” yang terbit pada 1970-an. Prosumsi = produksi dan konsumsi. Kemajuan teknologi, seperti internet, memungkinkan setiap orang menjadi produsen dan konsumen informasi sekaligus.

Blog memang merupakan sparing-partner menarik bagi jurnalisme konvensional. Banyak orang, terutama di Amerika, makin kehilangan kepercayaan pada media-media mainstream (televisi dan bahkan koran)–jumlah pemirsa dan pembaca koran terus turun dari tahun ke tahun. Media mainstream kian jatuh pamornya karena makin sarat berita negatif, gosip, kriminalitas, dan infotainmen. Fox TV adalah personalitas negative-journalism yang ekstrem, tapi citra seperti itu bahkan kini menghinggapi jaringan utama seperti CNN, ABC dan CBS (lihat bagaimana mereka memberitakan perang di Irak).

Orang beralih ke media lain. Orang mulai menggagas media alternatif untuk mencari substansi yang tidak diliput media. Atau menggagas civic-journalism. Atau mencari blog berisi opini dan perspektif alternatif.

Di masa depan, blog tidak hanya akan berisi jurnalisme single-source atau sekadar opini. Jurnalisme dengan standar yang bagus bisa muncul dari sini, lebih bagus dari media konvensional. Blog memudahkan wartawan “menerbitkan” karya jurnalistiknya tanpa saluran konvensional (mencetak dan menyiarkan).

Tapi, bagus atau tidak, kredibel atau tidak, karya jurnalisme dalam sebuah blog akan teruji oleh waktu, dan dinilai berdasar standar jurnalistik yang lazim. Jurnalisme adalah jurnalisme. Dan blog hanya medium. Tapi, mungkin kata-kata Marshall McLuhan berlaku di sini: “medium is the message”. Blog adalah medium yang mengubah kebiasaan membaca dan menulis, mengirim dan menerima informasi.

Disunting dari tulisan Farid Gaban, diposting semata-mata untuk pendidikan.

Kamis, 26 April 2012

Resensi Buku; Biarkan Hukum Mengalir


Sampul buku
Buku “Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum“ merupakan buku terbaru yang ditulis oleh Prof Tjip (sapaan Prof Satjipto Rahardjo). Berbeda dengan dua buku sebelumnya (Buku Sisi-sisi Lain dari Hukum Di Indonesia dan Buku Membedah Hukum Progresif) yang merupakan kumpulan tulisan terpilih beliau yang dirangkum menjadi sebuah buku, buku ini (Biarkan Hukum Mengalir) merupakan karangan yang sengaja ditulis untuk menjadi publikasi berbentuk buku.

Terdiri dari sepuluh bab yang secara berurutan judul babnya adalah: 1] pergulatan manusia dan hukumnya; 2] jagat ketertiban; 3] dinamika di luar hukum negara; 3] hukum nasional sebagai beban untuk komunitas lokal; 5] cara bangsa-bangsa berhukum; 6] mempertanyakan kembali kepastian hukum; 7] hukum itu manusia, bukan mesin; 8] watak liberal hukum modern; 9] biasa dan luar biasa dalam berhukum; dan 10] hukum progresif yang membebaskan. Pada setiap akhir bab-nya Prof Tjip selalu mengajak pembaca untuk berefleksi dan menghimbau, biarkan hukum mengalir saja. Suatu ajakan yang beranjak dari asumsi bahwa hukum itu bukan hanya tatanan determinatif yang sengaja dibikin (rule making) tetapi dalam kehidupannya hukum mengalami benturan, kelokan dan terantuk-antuk, sehingga untuk mencapai tujuannya yang tertinggi perlu dilakukan terobosan-terobosan (rule breaking).

Biarkan Hukum Mengalir secara jelas dipengaruhi oleh hipotesa Karl Ranner yang menyatakan agar hukum itu dibiarkan mencari dan menemukan jalannya sendiri secara progresif, “the development of the law gradually works out what is socially reasonable” (hal 5, 47 dan 89). Kalimat itu berkali-kali dikutip oleh Prof Tjip dalam buku ini. Di saat peraturan perundang-undangan tidak mengakomodir secara yuridis kepentingan masyarakat atau dikala penerapan hukum mematahkan pemenuhan hak dan kewajiban masyarakat, maka hukum sebagai suatu cerminan sosiologis masyarakat akan mencari dan menemukan jalannya sendiri. Ibarat air, ketika dibendung oleh suatu tembok, ia akan mencari celah untuk menembus tembok tersebut. Pandangan yang demikian sekilas terlihat menggunakan pandangan yang ada dalam hukum alam. Meskipun Prof Tjip tidak secara jelas menyatakan pandangan itu dipinjam dari mazhab hukum alam, dengan mengadopsi pandangan Taoisme yang digubah Maturana dan Fritjof Capra sebagai referensi dalam bab 9 telah menunjukkan bahwa Prof Tjip meminjam pandangan naturalis dari filsafat timur yang dimasa kini mewujud dalam pandangan yang postmodernis. Pandangan yang mencoba menyejajarkan modernisme barat dengan mistisisme timur.

Pada permulaan bab satu Prof Tjip menceritakan pergulatan manusia dengan hukumnya. Menceritakan bagaimana bangsa-bangsa berhukum menurut karakteristik sosialnya. Bahwa hukum modern tidak selalu dapat memoderasi masyarakat. Hukum modern yang dicirikan rasional, otonom, tertutup yang mengkristal dalam doktrin The Rule of Law bukanlah nilai universal yang bisa berlaku di ladang negara-negara yang tidak memiliki sejarah sama dengan Eropa tempat kelahirannya. Untuk menguatkan argumennya Prof Tjip berulangkali memberi perbandingan cara berhukum bangsa Jepang (cerminan masyarakat timur) dengan bangsa Amerika (cerminan masyarakat barat). Bangsa Jepang berhukum dengan hatinya (kokoro) sedangkan bangsa Amerika berhukum dengan rasio dan untung ruginya.

Secara khusus dalam bab IV Prof Tjip mengangkat judul Hukum Nasional sebagai Beban untuk Komunitas Lokal. Narasi bab ini dipaparkan dengan mengutip pandangan Bernard L. Tanya, Karolus Kopong Medan, dan Daniel S. Lev. Setidaknya dari tiga kajian dan pengalaman orang-orang tersebut menunjukkan bahwa hukum nasional yang nota bene berwatak modern dan liberal “membunuh” hukum adat yang hidup dalam interaksi masyarakat. Masih banyak lagi tema dan ide penting yang dipaparkan Prof Tjip dalam buku ini, diantaranya kritik atas asas kepastian hukum, jagat ketertiban, cara-cara bangsa berhukum, kritik terhadap watak liberal hukum modern, yang secara kumulatif memaparkan alasan mengapa hukum progresif itu muncul.

Pada bab terakhir (bab X) Prof Tjip menutupnya dengan dasar-dasar hukum progresif dengan judul bab Hukum Progresif yang Membebaskan. Sungguh ini adalah satu panduan singkat bagi banyak orang yang sedang gandrung dengan gagasan beliau tentang Hukum Progresif. Pada bab ini Prof Tjip mengkritalisasi apa yang dimaksud dengan hukum progresif dan paradigma yang menopangnya, yaitu: Pertama, hukum adalah untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Nilai ini menempatkan bahwa yang menjadi titik sentral dari hukum bukanlah hukum itu sendiri, melainkan manusia. Bila manusia berpegang pada keyakinan bahwa manusia ada untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam skema-skema yang telah dibuat oleh hukum. Sebaliknya, pandangan yang menyatakan bahwa hukum adalah untuk manusia senada dengan pandangan antroposentris yang humanis dan membebaskan.

kedua, Hukum Progresif menolak untuk mempertahankan status quo dalam berhukum. Mempertahankan status quo berarti mempertahankan segalanya, dan hukum adalah tolak ukur untuk semuanya. Pandangan status quo itu sejalan dengan cara positivistik, normatif dan legalistik. Sehingga sekali undang-undang menyatakan atau merumuskan seperti itu, kita tidak bisa berbuat banyak, kecuali hukumnya dirubah terlebih dahulu. Status quo yang dipertahankan lewat asas kepastian hukum tidak hanya membekukan hukum, tetapi juga berpotensi besar membekukan masyarakat.

Ketiga, Hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan perilaku manusia dalam berhukum. Perilaku di sini dipengaruhi oleh pengembangan pendidikan hukum. Selama ini pendidikan hukum lebih menekankan penguasaan terhadap perundang-undangan yang berakibat terpinggirnya manusia dari perbuatannya di dalam hukum. Sembilan puluh persen lebih kurikulum pendidikan hukum kini mengajarkan tentang teks-teks hukum formal dan bagaimana mengoperasionalisasikannya (hal 145). Secara agak ekstrem, Gerry Spence mengkritik pendidikan hukum dengan mengatakan, “sejak mahasiswa memasuki pintu fakultas hukum, maka rasa kemanusiaannya dirampas dan direnggut.” Disamping pada ranah pendidikan, peranan perilaku manusia dalam berhukum juga terkait dengan profesi pengemban hukum seperti hakim, jaksa, polisi, pengacara dan profesi hukum lainnya. Peranan para pengemban hukum memiliki signifikansi cerminan hukum bagi masyarakat.

Diakhir bab X Prof Tjip menjawab pertanyaan banyak orang tentang apa yang dimaksud dengan hukum progresif. Secara ringkas beliau memberikan rumusan sederhana tentang hukum progresif, yaitu melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaa (hal 147).

Sejak digulirkan tahun 2002, sudah banyak orang yang tergugah dengan pendekatan hukum progresif karena dianggap sebagai pendekatan alternatif di tengah kejumudan positivisme hukum. Kalangan positivisme hukum diam-diam memperhitungkan Hukum Progresif sebagai benih yang berangsur siap di semai di lahan sosial, yang akan merepotkan kalangan yang memposisikan hukum sebagai mesin yang mekanistik, rasional dan berkepastian. Sejak kira-kira tahun 2002 pula gairah menyeriusi Hukum Progresif muncul, namun pendekatan ini belum membeku menjadi konsep yang dapat diterapkan menjadi tujuan. Sepanjang ini hanya digunakan sebagai argumen dan konsep kepedulian (sensitizing concept), belum menjadi konsep teoritis atau mazhab. Pendekatan ini memang terbuka (inklusif) bagi banyak orang, tapi bila akan mengeras dan menjadi panji-panji perubahan hukum, tentu memerlukan agensi yang jelas, paradigma dan pola pengembangan aksional yang tepat.

Namun, dalam perjalanan yang sedang berlangsung, buku ini menjadi salah satu konsideran. Juga sudah dapat diduga bahwa buku Biarkan Hukum Mengalir ini akan menjadi buku pegangan para pengagum hukum progresif. Lewat buku ini Prof Tjip mengumpulkan sendiri sendi-sendi hukum progresif dan kemudian meluncurkannya agar mengalir dalam relung-relung pikiran dan tindakan manusia Indonesia.


Judul                    : Biarkan Hukum Mengalir; Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum
Pengarang            : Satjipto Rahardjo
Penerbit               : Penerbit Buku KOMPAS
Cetakan               : I, November 2007
Tebal                   : x + 158 halaman (termasuk indeks)
Resensi oleh         : Fahruddin Fitriya, SH

Selasa, 17 April 2012

Kenapa Harus Menulis "?"



Ilustrasi; Menulis
Blogging, jaringan sosial, dan jurnal telah menciptakan jutaan penulis produktif. Menulis membuat Anda berinteraksi dengan orang, masyarakat, pekerjaan, dan yang paling penting untuk diri Anda sendiri. Menulis itu membuat jiwa-raga Anda sehat.

Inilah alasan-alasan yang membuat menulis merupakan kebiasaan yang sehat (healthy habit):

Menulis membantu Anda membuat keputusan. Membuat daftar pro dan kontra memungkinkan Anda melihat konsekuensi pilihan Anda lebih jelas.
Menulis menghemat waktu dan memori. Menuliskan catatan pada selembar kertas akan menjadikan Anda dapat  menghemat waktu berjam-jam yang mungkin bisa Anda habiskan ketika mencoba mengingat sesuatu.

Menulis menghapus “galau”. Menuangkan emosi Anda pada kertas (menuliskan kegalauan) bisa mencerahkan hati yang berat. Dengan menulis kita bisa berbagi. Manusia adalah makhluk sosial. Dengan demikian, berbagi emosi, opini, dan cerita itu penting untuk menjalin hubungan sosial. Istilah “history” (sejarah) berasal dari  kata  “his” dan “story” (ceritanya/katanya). Mungkin suatu hari nanti akan disebut “herstory”.

Menulis menciptakan hidup Anda. Dengan menuliskan afirmasi (pernyataan, sugesti pribadi) positif, mempraktikkan dan mempercayainya, Anda membawa lebih banyak hal positif dalam hidup Anda.
Menulis membuat Anda tenang. Jika Anda marah kepada seseorang, tuliskan dulu amarah Anda. Lalu putuskan pendekatan apa yang akan diambil.

Menulis adalah sebuah pengalih perhatian yang sangat baik. Ketika kehidupan menjadi sulit, menulis kreatif memungkinkan Anda untuk “melarikan diri” ke sebuah dunia fantasi dan menyenangkan.
Menulis itu membantu orang lain. Sebuah kata, kalimat, atau cerita bisa mengubah hidup orang lain menjadi lebih baik.

Kita sudah paham betapa banyak manfaat menulis. So… Just Write! Nulis ahhh….! Go Blogging!

Akhirulkalam, harap maklum ye, kalo bahasa postingan ini dirasa agak “kacau”. Soale postingan terjemahan bebas dari artikel “Writing is a healthy” by Debbie Gisonni di examiner.com. Wasalam.

Tulisan ini juga diposting di Romeltea Magazine

Senin, 16 April 2012

Menunggu Media Massa dan Kaum Aktivis Pergerakan Bersikap Tegas


#Catatan kritis untuk kaum pragmatis
Ilustrasi
Ternyata Media massa dan kaum aktivis pergerakan mempunyai sudut pandang dan sikap yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan dalam merespon perkembangan yang tejadi disekitarnya. Cara pandang media massa, dalam koreksi terhadap penguasa, cenderung dibangun dengan prinsip dan kepentingan yang melekat pada dirinya. Hal yang serupa juga tidak berbeda dengan kaum aktivis pergerakan.

Watak media massa saat ini

Umumnya prinsip yang dianut media massa lebih mengutamakan tujuan industrinya sebagai jaminan untuk berkembang dan tetap survive. Tidak peduli dengan suara kritis yang berkembang disekitarnya. Bagi mereka yang terpenting bagaimana dapat mengais keuntungan sebesar-besarnya dan memperluas jaringan bisnisnya ke berbagai bidang.

Pilihan ini terkadang menyebabkan daya kritis media menjadi melemah, kabur, tidak tegas dan bahkan secara terang-terangan tampil sebagai humas penguasa dan penyalur kepentingan syahwat pengusaha besar. Watak ini, maaf, juga berlaku di bumi Borneo.

Bagaimana dengan sikap kaum aktivis pergerakan?

Kalangan aktivis pergerakan, khususnya pasca tumbangnya rezim Soeharto, terpecah-pecah dan beradaptasi dengan ragam kepentingan kelompoknya masing-masing. Sebagian besar aktivis tersebut kembali dan menjalani kehidupannya secara normal, tidak ikut mengawal perubahan. Namun, sebagian dari mereka memilih tetap konsisten dan terus berinteraksi dengan dinamika di lapangan.

Singkatnya, kalangan aktivis yang terpecah-pecah itu, secara alamiah mulai terkonsolidasi dalam beberapa isu nasional. Pemicunya tidak lain adalah, kasus dugaan pelanggaran pemilu (Pileg-Pilpres), kasus Century, Kenaikan BBM dan beberapa kasus lainnya. Menariknya, konsolidasi para aktivis tersebut, kini terfokus dan berakumulasi pada koreksi serius atas kegagalan agenda reformasi dan secara terang-terangan menegaskan bahwa posisi SBY sebagai titik fokus dimaksud.

Arah gerakan para aktivis ini, seolah mengisyaratkan kepada kita tentang adanya proses pengulangan sejarah reformasi yang pernah terjadi pada tahun 1998. Kondisi ini dapat dilihat dari maraknya aksi-aksi yang makin meluas dan mulai bergelombong menuju pusat-pusat kekuasaan. Sementara dalam waktu yang sama, elit penguasa terlihat panik dan semakin kehilangan legitimasi di mata publik.
Ilustrasi

Pertanyaannya saat ini, kapan kaum aktivis pergerakan dan media massa menentukan sikap, Apakah masih akan tetap asyik dengan ego dan kepentingan pragmatisnya, atau bangkit secara bersama-sama untuk menyelamatkan NKRI. Apakah hal itu dimungkinkan?

Minggu, 15 April 2012

Resensi Buku, Psikologi Sastra: Karya, Metode, Teori, dan Contoh Kasus


Sebuah karya sastra merupakan kisahan yang senantiasa bergumul dengan para tokoh fiksional yang diciptakan oleh si pengarang. Agar ceritera lebih menarik, si pengarang kerap kali menampilkan perilaku para tokoh dengan kepribadian yang tidak lazim, aneh, atau abnormal, sehingga menimbulkan berbagai perasaan bagi para pembaca. Tidak jarang para pembaca bertanya-tanya, mengapa si tokoh berperilaku demikian, apa yang terjadi pada dirinya, apa penyebabnya, dan apa pula akibat dari semua ini. Bahwasanya masalah perilaku mungkin saja terkait dengan masalah kejiwaan, maka kisahan semacam ini dapat merupakan masalah psikologis.

Oleh karena itu, dalam buku yang merupakan hasil penelitian tentang karya-karya sastra Inggris dan Amerika yang bermutu ini, penulis menampilkan beberapa kasus para tokoh fiksional yang mencerminkan konsep-konsep yang terdapat dalam Psikologi Sastra. Para tokoh dimaksud terdapat dalam karya-karya sastra Inggris dan Amerika ciptaan Nathaniel Hawthorne, Eugene O'Neil, Theodore Dreiser, dan D.H. Lawrence. dalam buku ini dibahas pula para tokoh yang mencerminkan beberapa konsep yang terdapat dalam Psikologi Sastra, misalnya konsep-konsep: Oedipus Complex, Electra Complex, Naluri Kematian, rasa Bersalah, Agresivitas, Halusinasi, Konflik Batin, rasa Malu, dan sebagainya. Selain itu, dibahas pula pencerminan Teori Kebutuhan Bertingkat dari Abraham Maslow yang mencakup kebutuhan fisiologis, rasa aman, rasa memiliki dan dicintai, rasa harga diri, dan aktualisasi diri.

Selama ini telaah karya sastra melalui pendekatan Psikologi Sastra sering diperdebatkan karena kerap kali hakikat sastra menjadi hilang, telaah sastra seakan-akan menjadi telaah Psikologi. Oleh karena itu, agar telaah sastra psikologis tidak meninggalkan hakikat analisis suatu karya sastra, maka pencerminan berbagai konsep psikologi di atas perlu disampaikan melalui metode perwatakan yang biasa digunakan dalam telaah sastra. Metode-metode tersebut misalnya, telling (langsung), showing (tidak langsung), gaya bahasa bahasa (figurative language): simile, matafor, personifikasi, , dan sudut pandang (point of view).

Pembahasan dalam buku ini dapat dijadikan bahan acuan bagi para peneliti, karena paparannya cukup jelas dan terperinci, sehingga buku ini akan bermanfaat bagi para peneliti yang berminat menganalisis suatu karya sastra dalam bahasa apapun.

Penulis             :        Albertine Minderop
ISBN         :        978-979-461-759-5
Dimensi         : 14,5 x 21 cm
Jenis Cover : soft cover
Berat Buku : 310
Jenis Kertas : Book Paper

Sabtu, 14 April 2012

Menulis Yuk's...

Bagaimana Memulai

Banyak yang ingin menulis ke media tapi bingung bagaimana memulainya. Ada dua cara:
1. Mempelajari teori menulis baru praktik;
2. Learn the hard way atau menulis dulu teori belakangan.
ILUSTRASI; "Menulis"
Terserah kita mana yang lebih enak dan nyaman. Tapi, berdasarkan pengalaman rekan-rekan di India yang tulisannya sudah banyak dimuat di media, alternatif kedua tampaknya lebih bagus. Rizqon Khamami, Zamhasari Jamil, A. Qisai, Tasar Karimuddin, Beben Mulyadi, Jusman Masga, Irwansyah, dan lain-lain semuanya belajar menulis dengan langsung mengirim tulisannya. Bukan dengan belajar teori menulis lebih dulu.

Saya sendiri merasa alternatif kedua lebih enak. Ini karena kemampuan daya serap saya terhadap teori sangat terbatas. Saya pernah mencoba belajar teori menulis. Hasilnya? Pusing. Bukan hanya itu, bahkan dalam belajar bahasa Inggris pun, saya cenderung langsung membaca buku, koran atau majalah. Pernah saya coba belajar bahasa Inggris dengan membaca grammar, hasilnya sama: pusing kepala.

Sulitkah Menulis?

Sulitkah menulis? Iya dan tidak. Sulit karena kita menganggapnya sulit. Mudah kalau kita anggap “santai”. Eep Saifullah Fatah, penulis dan kolomnis beken Indonesia, mengatakan bahwa menulis akan terasa mudah kalau kita tidak terlalu terikat pada aturan orang lain. Artinya, apa yang ingin kita tulis, tulis saja. Sama dengan gaya kita menulis buku diary. Setidaknya, itulah langkah awal kita menulis: menulis menurut gaya dan cara kita sendiri. Setelah beberapa kali kita berhasil mengirim tulisan ke media — dimuat atau tidak itu tidak penting– barulah kita dapat melirik buku-buku teori menulis, untuk mengasah kemampuan menulis kita. Jadi, tulis-tulis dahulu; baca teori menulis kemudian. Seperti kata Rhoma Irama, penyanyi kesayangan Malik Sarumpaet.

Topik Tulisan

Topik tulisan, seperti pernah saya singgung dalam posting beberapa bulan lalu, adalah berupa tanggapan tentang fenomena sosial yang terjadi saat ini. Contoh, apa tanggapan Anda tentang bencana gempa dan tsunami di Aceh? Apa tanggapan Anda seputar pemerintahan SBY? Apa tanggapan Anda tentang dunia pendidikan di Indonesia? Dan lain-lain.

Sekali lagi, usahakan menulis sampai 700 kata dan maksimum 1000 kata. Dan setelah itu, kirimkan langsung ke media yang dituju. Jangan pernah merasa tidak pede. Anda dan redaktur media tsb. kan tidak kenal. Mengapa mesti malu mengirim tulisan? Kirim saja dahulu, dimuat tak dimuat urusan belakangan. Keep in mind: Berani mengirim tulisan ke media adalah prestasi dan mendapat satu pahala. Tulisan dimuat di media berarti dua prestasi dan dua pahala. Seperti kata penulis dan ustadz KBRI, Rizqon Khamami.
Rendah Hati dan Sifat Kompetitif

Apa hubungannya menulis dengan kerendahan hati? Menulis membuat kita menjadi rendah hati, tidak sombong. Karena ketika kita menulis dan tidak dimuat, di situ kita sadar bahwa masih banyak orang lain yang lebih pintar dari kita. Ini terutama bagi rekan-rekan yang sudah menjadi dosen yang di mata mahasiswa-nya mungkin sudah paling ‘wah’ sehingga mendorong perasaan kita jadi ‘wah’ juga alias ke-GR-an.

Nah, menulis dan mengririm tulisan ke media membuat kita terpaksa berhadapan dengan para penulis lain dari dunia dan komunitas lain yang ternyata lebih pintar dari kita yang umurnya juga lebih muda dari kita. Di situ kita sadar, bahwa kemampuan kita masih sangat dangkal. Kita ternyata tidak ada apa-apanya. Ketika kita merasa tidak ada apa-apanya, di saat itulah sebenarnya langkah awal kita menuju kemajuan.

Kita juga akan terbiasa menghargai orang dari isi otaknya bukan dari umur atau senioritasnya apalagi jabatannya.

Di sisi lain, membiasakan mengirim tulisan ke media membuat sikap kita jadi kompetitif. Sekedar diketahui, untuk media seperti KOMPAS, tak kurang dari 70 tulisan opini yang masuk setiap hari, dan hanya 4 tulisan yang dimuat. Bayangkan kalau Anda termasuk dari yang empat itu. Itulah prestasi. Dan dari situlah kita juga belajar menghargai prestasi dan keilmuan serta kekuatan mental juara seseorang.

It’s your choice: you are either being a loser or a winner. Being a loser is easy. Just sit down in the chair, behind your desk. And feel comfort with your hallucination of being “a great guy” which is actually not, as a matter of fact.

Selasa, 10 April 2012

Teknik Menganalisis Berita


Ilustrasi
Metode utama yang digunakan dalam menganalisis berita adalah analisis isi. Metode analisis isi terdiri atas dua jenis, yaitu analisis isi kuantitatif dan analisis isi kualitatif. Analisis isi kuantitatif akan melahirkan data kuantitatif dan karenanya tidak akan mencerminkan jawaban yang komprehensif terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Itulah sebabnya analisis isi kuantitatif perlu diikuti analisis isi kualitatif.

Analisis isi kuantitatif, seperti disebut Richard W. Budd, dkk, adalah metode yang sistematik untuk menganalisis pesan dan bagaimana pesan disampaikan (1967:2). Dengan kata lain, analisis isi hanya bisa menjawab dua pertanyaan: apa ciri-ciri pesan yang tertulis dan bagaimana pesan yang disampaikan.
Pertanyaan di luar kedua itu tidak bisa dijawab oleh metode analisis isi. Tetapi, dalam modul ini kita tidak akan membicarakan analisis isi seperti yang diisyaratkan oleh Richard W. Budd dkk di atas. Kita akan menganalisis berita sesuai dengan kepentingan penulisan berita. Ini penting dilakukan mengingat pengetahuan tentang anatomi berita akan memberikan inspirasi bagi calon penulis berita tentang berita seperti apa yang akan ditulisnya.

Secara teoritis, bagaimana para wartawan merefleksikan realitas sosial yang diamatinya bisa dilihat melalui berita-berita yang mereka siarkan. Untuk menganalisis berita tersebut, yang perlu diperhatikan adalah: 1. fisik berita, yang terdiri dari posisi, layout, dan panjang berita; 2. Teknis berita, yang terdiri dari lingkup, tipe, dan fokus berita; 3. Struktur berita, yang terdiri dari judul, lead, dan tubuh berita; dan 4. Kecenderungan isi berita, yang terdiri dari nilai berita, narasumber, kelengkapan, kedalaman, dan aktor yang terlibat (adaptasi dari Siregar 1991:5). Bila diskemakan, kerangka analisis berita tersebut di atas menjadi:

Teknik Menulis Berita Langsung
1.                  1. Pengertian berita langsung
Berita langsung adalah berita yang dibuat untuk menyampaikan peristiwa-peristiwa yang secepatnya harus diketahui khalayak. Karena itu, penulisnya mengikuti struktur piramida terbalik, dengan bagian yang terpenting pada pembukaan berita (LP3Y 1990:1).

2. Pembukaan berita langsung
Sesuai dengan pengertian dan struktur berita langsung, maka hal yang perlu diyakinkan ketika menulis berita langsung adalah menulis unsur nilai berita yang paling kuat dalam lead. Berita tentang kedatangan Lady Di untuk berlibur di Lombok, bisa dimulai dengan lead: Lady Di, setelah pisah ranjang dengan Pangeran Charles, secara diam-diam berada di Lombok untuk berlibur. Kedatangannya yang ditemani........

3. Tubuh berita langsung
(Unsur penting dalam berita ini adalah seorang yang sangat terkenal di Indonesia dan dekat dengan khalayak dalam pengertian emosional). Untuk memudahkan penulisan lead, perlu diungkapkan syarat sebuah lead, yaitu:
a. Panjangnya sekitar 30-40 kata.
b. Tidak diawali dengan kata penghubung.
c. Tidak menggunakan kalimat pasif.
d. Menjawab pertanyaan dua atau tiga unsur dari Apa, Siapa, Mengapa, Dimana, Kapan, dan Bagaimana.
e. Tidak lebih dari satu alinea.
f. Menjawab rasa ingin tahu khalayak.

Dengan keenam persyaratan ini bisa ditulis lead, yang bervariasi, seperti:
a.       Lead bersyarat, yang ditandai oleh kata jika. Misalnya:
Jika mobil yang dikendarai si Ucok tidak mengebut, tentu di Ucok bisa menghidari kecelakaan itu...............................................................................................................

b.      Lead kondisional, yang ditandai oleh kata walaupun. Contoh:
Walaupun jeritan itu tidak keluar dari mulut korban, si perampok urung membunuhnya...............................................................................................................
c. Lead kausal, yaitu lead sebab-akibat, yang ditandai oleh kata sebab atau karena. Misalnya:
Karena tidak ada jalan lain, Tigar terpaksa merampok sebuah bank di bulan Juli silam.............................................................................................................................
d. Lead waktu, yaitu lead yang menekankan dimensi waktu, yang biasanya ditandai oleh kata sesudah atau sebelum. Seperti: Setelah bermain organ non stop 24 jam, Agung menjadi pria terkenal dan disenangi para gadis.....................................................................................................................
e. Lead bertanya, yang dimulai dengan kalimat tanya. Misalnya:
Adakah di antara pembaca yang tidak kenl dengan Michael Jackson?......................

4. Penutup berita langsung
Setelah mendapatkan lead yang menarik, barulah disusul dengan body, yang merupakan kelengkapan berita. Seluruh berita disampaikan paragraf demi paragraf dari keseluruhan fakta, yang merupakan jawaban dari enam pertanyaan pokok jurnalistik.
Sebagai cotoh, saya kutipkan berita yang disiarkan harian Bernas, Yogyakarta, 16 Agustus 1994 berikut:

Sabtu, 07 April 2012

Renungan


#Jeda
Ilustrasi

Alam bawah sadarku bergerak
Alam bawah sadarku bergejolak
Alam bawah sadarku berontak
Alam bawah sadarku berteriak

Hai alam pikir, segeralah bekerja
Hai alam pikir, segeralah berputar
Hai alam pikir, segeralah berbuat
Hai alam pikir, segeralah bertindak

Hari berganti hari
Memori itu hampir meredup
Tahun berganti tahun
Nostalgia itu seakan hilang

Telah datang Dia
Dengan suatu perubahan
Perubahan yang mencengangkan
Mengingatkan kita akan masa lalu

Gelap dalam kegembiraan
Terang dalam kesedihan

Gejolak hati anak kecil
Gembira mendapatkan mainan
Gejolak pikir anak remaja

Haru biru dalam kesmaraan
Semu dan nyata menjadi satu
Hati dan pikir melebur
Air dan api berbaur
Laut dan daratan tak berbatas

Dia menghampiri,
Pikiranku terus menahan
Dia telah dekat,
Hatiku hanya untuk_MU
Inilah saatnya,
Menunjukkan auman sejati ciptaan yang paling mulia,...

Tamiang Layang, 7/4 2012

Kamis, 29 Maret 2012

Kapan “Kobar” Berhenti “Berkobar” ?



#Opini Politik, Sengketa Pemilu Kada Kotawaringin Barat

Ini adalah kali ketiga, diriku menginjakkan kaki di Kabupaten berjuluk Marunting Batu Aji (Menuju Kejayaan), yang secara nasional dikenal dengan nama Kotawaringin Barat (Kobar). Kedatanganku ke kabupaten beribukota Pangkalan Bun kali ini, hanya karena penasaran ingin menyaksikan secara langsung drama politik, yang menurutku hanya dilatar belakangi ambisi semata.

Kisah yang diawali dengan adegan pemilihan umum kepala daerah (Pemilu Kada), telah berlangsung 2 tahun silam ternyata masih berlanjut hingga kini. Adegan ini berlanjut dengan ketidakpuasan, ya ketidakpuasan. Karena kengototan dari kedua belah pihak telah berujung kesemrawutan, bukan hanya pada penegakkan hukum dan penyelesaian secara kontitusional, bahkan merembet ke sengketa administratif.


Tragedi terbesar terjadi beberapa waktu lalu (29/12, 2011), Rusuh massa yang telah mencoreng wajah teduh Pangkalan Bun, ibukota Kabupaten Kobar. Unjuk rasa sekitar lima ratusan orang menentang pasangan bupati-wakil bupati yang ditetapkan Mahkamah Konstitusi (MK) diwarnai aksi perusakan dan pembakaran beberapa bangunan. Massa tersebut diketahui sebagai pendukung pasangan bupati dan wakil bupati terpilih dalam pilkada namun didiskualifikasi MK. Drama tragis tersebut tak sesingkat dalam ulasan jurnal ini (Baca; Kronologis Sengketa Pemilu Kada Kotawaringin Barat).

(21 Maret 2012) Babak baru dalam adegan ini berlanjut, ketika Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) DKI Jakarta mengabulkan dan memenangkan gugatan dari salah satu kubu (Yang didiskualifikasi MK), untuk mencabut Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri (Mendagri), tentang pengesahan dan pengangkatan Bupati Kobar atas dasar rekomendasi MK (SK Mendagri Nomor 131.62-584 Tahun 2011 dan SK Nomor 132.62-585 Tahun 2011 tertanggal 8 Agustus 2011) karena dianggap cacat hukum dan tidak sah.

Jika kita membuka buku Yurisprudensi (Keputusan Hakim terdahulu), mungkin ini kali pertama dijumpai kasus sengketa pemilu kada yang menggunakan peradilan administratif (PTUN), memang hal ini tidak aneh, tetapi anehnya terletak pada logika hukum yang mengesampingkan hirarki peradilan, dimana sebelumnya sengketa pemilu kada sudah diputus MK, peradilan kelas dewa di bidang Konstitusi.

Jika yang jadi masalah hanya sebatas administrasinya, ku rasa ini tidaklah begitu signifikan, apalagi jika ngomong masalah pelengseran. Logikanya, SK di cabut lalu MK rekomendasikan untuk membuat SK baru, dan menunjuk orang melantik kembali sang bupati, beres. Bos, biaya menggelar persidangan lebih mahal jika dibandingkan dengan harga kertas untuk membuat SK. Kalau aku sih mending dananya buat bangun daerah.

Jadi sudah jelas, jika ambisi dan kengototanlah yang melatarbelakangi ini semua, jelas pula tujuan menggunakan institusi berlabel PTUN, hanya untuk bisa dikabulkan dan dimenangkan sampai tingkat Mahkamah Agung (MA). Bahasapekoknya, kalah di MK, kita adu MA dan MK. Lalu jika kedua intitusi dewa ini bertarung, ya jelas saja aset negara lagi yang jadi korban (Baca; Rujab Bupati Kobar diBakar Massa), lebih ironis lagi, para pendukung kelas menengah kebawah jadi alat, kaum elit kelas atas kesamping mah tinggal perintah.

Media massa yang seharusnya memposisikan diri senetral mungkinpun tak ku jumpai, bahkan menurut logika hukum yang ku pelajari membuatku untuk menahan tawa, saat menikmati sajian berita dan opini mereka. Sekali lagi ya maklumlah, mungkin penulisnya tak ada background dibidang hukum, terkhusus hukum tata negara, yang aku dan kawan-kawan seperjuangan dulu pelajari hingga dua belas sistem kredit semester (SKS) semasa kuliah.

Dari apa yang mereka tulis misalnya, Si anu terjungkal, si itu tidak sah dengan jabatannya, si ini dimenangkan. Dalam hati, stop! Apa maksud terjungkal, tidak sah, dan dimenangkan?

Aku rasa ini adalah kajian hukum terdangkal, dari opini dan berita yang pernah di sajikan media massa besar, yang notabenenya banyak orang hebat yang didatangkan dari ibukota. Kenapa mereka tidak melihat kompetensi peradilan yang ada. Siapa MK, siapa MA, dan terlebih siapa PTUN. Media yang ku gadang-gadang dapat menelaah dan menyajikan ulasan menarik, berimbang, dan independen hanya akan menjadi bahan tertawaan saja, ironis.

Ingin rasanya pulang lalu membawa sebongkok tulisan-tulisan mereka ke forum diskusi kawan-kawan, untuk ditelanjangi habis-habisan tentunya...(Bersambung)

#Jurnal pindahan; Pena Fitriya

Kronologis; Sengketa Pemilu Kada Kobar


5 Juni 2010 - Pelaksanaa Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilu Kada) Bupati Kotawaringin Barat (Kobar) untuk periode 2010-2015, diikuti oleh dua pasang calon yakni Sugianto-Eko Sumarno (SUKSES) dan Ujang Iskandar-Bambang Purwanto (UJI-BP).

12 Juni 2010 - Penetapan hasil perolehan suara pasangan calon bupati (Cabup) dan calon wakil bupati (Cawabup) terpilih periode 2010-2015 oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kobar. Pemenangnya adalah pasangan SUKSES dengan 67.199 suara sedangkan UJI-BP hanya memperoleh 55.281 suara.

7 Juli 2010 - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengabulkan permohonan UJI-BP, terkait gugatan Sengketa Pemilu kada Kobar. Kemudian mendiskualifikasi pasangan SUKSES dan menetapkan pasangan UJI-BP sebagai Bupati dan Wakil Bupati terpilih dalam Pemilu kada Kobar tahun 2010.

14 Juli 2010 - KPUD Kabupaten Kobar melakukan rapat pleno untuk menentukan sikap. Rapat yang berlangsung sejak pukul 09.00 WIB, baru berakhir setelah pukul 15.00 WIB. Keputusan rapat pleno tersebut menolak keputusan MK.

17 juli 2010 – Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng) Agustin Teras Narang mengirimkan surat bersifat penting, hasil pleno KPU Kobar menyangkut kasus Pemilu Kada Kobar, dengan Nomor 148/I.1/ADPUM kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi.
24 Juli 2010 - Mendagri Gamawan Fauzi menyerahkan putusan akhir sengketa hasil Pemilu Kada Kobar pada KPU Pusat dan KPUD provinsi dan KPUD Kabupaten. Pihaknya hanya menampung proses yang sudah matang.

22 November 2010 - KPU Pusat perintahkan KPUD Kobar melaksanakan putusan MK dan menetapkan hasil sesuai dengan putusan MK.

8 Agustus 2011 - Medagri Gamawan Fauzi menandatangani Surat Keputusan (SK) pengangkatan UJI-BP sebagai bupati dan wakil bupati Kobar. Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang telah menyampaikan surat melalui Pelaksana harian (Plh) Bupati Kobar  Muchtar agar Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kobar segera melakukan rapat paripurna.

11 Agustus 2011 - DPRD Kobar menolak Surat Keputusan (SK) Mendagri. DPRD Kobar mempertanyakan dasar untuk menyelenggarakan rapat paripurna istimewa yang agendanya akan melantik pasangan Uji-BP. Alasannya, Pimpinan DPRD Kobar melalui surat No. 170.172/2010, telah mengusulkan pasangan terpilih Sugianto sebagai Bupati Kobar, dan Eko Soemarno sebagai Wakil Bupati sesuai dengan berita acara KPUD Kobar. Pimpinan DPRD Kobar selama ini juga tidak pernah mengusulkan pasangan Ujang Iskandar dan Bambang Purwanto sebagai pemenang Pemilu Kada. Dengan pertimbangan tersebut, unsur Pimpinan DPRD Kobar belum bisa menjadwalkan rapat paripurna istimewa dan selanjutnya meminta petunjuk lebih lanjut kepada Gubernur Kalteng.

14 Agustus 2011 - Gubernur kembali menyerahkan penolakan SK Mendagri tersebut kepada Mendagri.

6 November 2011 - Presiden Panggil Mendagri Gamawan Fauzi dan Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang membahas soal Sengketa Pilkada Kobar.

20 Desember 2011 - Puluhan massa pendukung SUKSES turun ke jalan melakukan orasi dan pembakaran ban di depan Tugu Adipura. Hal ini dipicu dengan adanya isu pelantikan UJI-BP sebagai Bupati dan Wakil Bupati Kobar oleh Mendagri gamawan Fauzi pada pertengahan Januari 2012.

21 Desember 2011 - Ratusan massa pendukung SUKSES kembali turun kejalan untuk melakukan hearing (Rapat dengar pendapat) dengan anggota DPRD Kobar dan untuk Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (FKPD) Kobar. Sementara itu Kepolisian Daerah (Polda) menambah jumlah pasukan di Kobar sebanyak 6 pleton.

28 Desember 2011 - Ratusan massa pendukung SUKSES kembali melakukan demo dengan membawa keranda dengan betuliskan ancaman mati bagi UJI-BP dan antek-anteknya jika pemerintah tetap melantik UJI-BP. Aksi tersebut diikuti dengan pengrusakan dan pelemparan kaca kantor Bupati dan Disdikpora, serta pos penjagaan. Hal ini kembali dipicu karena beredarnya isu pelantikan UJI-BP bukan pada pertengahan Januari, namun pada Jumat (30/12).

29 Desember - Setelah melakukan konvoi keliling kota, masa pendukung SUKSES berhenti di depan Rumah Jabatan Bupati, di Jalan Pangeran Antasari dan membakarnya hingga habis.

21 Maret 2012 - Majelis Hakim PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) DKI Jakarta, mengabulkan dan memenangkan gugatan SUKSES serta memerintahkan Mendagri mencabut SK Mendagri, tentang pengesahan dan pengangkatan Bupati Kobar (SK Mendagri Nomor 131.62-584 Tahun 2011 dan SK Nomor 132.62-585 Tahun 2011 tertanggal 8 Agustus 2011) karena dianggap cacat hukum dan tidak sah.

#Jurnal Pindahan; Pena Fitriya