Jumat, 29 Juni 2012

JURNALIS, MEMBACA DAN SOSIAL MEDIA



“Berapa orang di antara rekan-rekan yang pernah meliput bencana?” Sontak tangan-tangan pun terangkat tinggi penuh semangat. “Oke, kalau begitu pasti tahu dong undang-undang penanggulangan bencana kita nomor berapa. Atau setidaknya ada yang pernah membacanya?”

Suasana mendadak hening mengiringi wajah-wajah jurnalis-jurnalis yang sebagian tersenyum-senyum, sebagian kaget dan sebagian lagi menengok pada rekan di samping kanan kirinya. Sebagian besar pun lantas berujung pada gumaman tak jelas dan gelengan kepala.

Itulah gambaran sekilas kejadian saat workshop tentang peliputan anak di situasi bencana, di Jogja pertengahan Oktober lalu. Pesertanya beragam, dari media cetak sampai elektronik, dari reporter sampai fotografer, dan dari yang baru enam bulan menjadi jurnalis hingga yang sudah belasan tahun meski mayoritas memang wartawan-wartawan muda.

Geli juga, campur prihatin, saat melihat dari yang serba beragam itu ternyata memiliki kecenderungan yang sama yaitu jarang membaca. Gelinya karena sedikit banyak saya pun sebenarnya punya kecenderungan itu. Baru belakangan ini saja saya sedang berusaha keras doyan membaca, sebuah kebiasaan lama saat harus mengerjakan tugas kuliah.

Tentu saja prihatin, karena membaca bagi jurnalis sebenarnya merupakan salah satu alat verifikasi selain tentu untuk memperkaya background dan kedalaman tulisan atau karya jurnalistik lain. Praktis yang marak digunakan saat ini masih tetap sama, yaitu pernyataan untuk memverifikasi pernyataan alias jurnalisme ludah. Dalam soal kebencanaan misalnya, bagaimana kita bisa tahu pemerintah telah melalaikan kewajibannya bila apa persisnya kewajiban itu berdasarkan UU saja kita tak pernah baca. Akibatnya kita hanya mengamini saja pernyataan dari pejabat, DPR, pengamat dsb.

Padahal ada begitu banyak dokumen yang mesti dibaca sebagai rujukan atau verifikasi berita. Tak cuma undang-undang, tapi juga aturan lain di bawahnya, kemudian juga APBN/APBD, jurnal-jurnal dan beragam tulisan/tayangan di internet terkait studi kasus bencana serupa yang terjadi di negara lain dsb.

Kualitas terancam

Memang tidak berarti lantas seorang jurnalis harus membaca semuanya itu. Namun saat dia intens membuat berita di bidang tertentu, maka setidaknya sumber-sumber bacaan yang terkait segera diakrabi.

Lagi-lagi merasa geli karena ingat saat berdiskusi dengan beberapa rekan soal penolakan UU Kebebasan Informasi Publik dan mereka berkomentar itu lebih berdampak pada pemerintah dan LSM, bukan pada jurnalis dan ternyata mereka melihat UU itu saja belum apalagi membacanya. Atau juga saat ramai-ramai teman-teman wartawan di sekitar saya menolak UU ITE, ternyata tak satu pun yang pernah membacanya secara utuh, termasuk saya waktu itu hehehe…

Jangankan terkait sumber berita, yang sudah membaca Kode Etik Jurnalistik saja berdasarkan survei terakhir masih jauh dari separuh. Tak perlulah saya dengan sok tahu memaparkan lebih detil bahayanya situasi ini bagi kualitas jurnalistik di Indonesia.

Namun lantas muncul gugatan, para jurnalis (terutama yang masih aktif sehari-hari reportase lapangan) memiliki beban kerja yang terlalu berat terutama dibandingkan upahnya. Kadang baru bisa pulang malam, capek, paginya harus keliling lagi cari berita dst. Tak ada waktu tersisa untuk memelajari hasil karya sendiri yang udah diedit, apalagi menggeluti bahan bacaan lain. Masih untung kalau tersisa waktu untuk nge-tweet, update status Facebook atau BBM-an untuk saling bertukar informasi liputan. Nah, kalau menurut Anda?

Senin, 18 Juni 2012

JURNALISTIK STYLISTIK ALA LAMPU HIJAU


Koran, Lampu Hijau
BERIKUT judul berita utama (HL) koran Lampu Hijau: "Siswi Kelas 1 Paling Cakep di Sekolah. 1 Cowok Sukses Macari Sukses Juga Nyetubuhi. Cerita ke Teman, Si Teman Nyetubuhi juga. Temen Cerita ke 2 Teman Lain, Nyetubuhi Lagi. Hamil 5 Bulan Bapaknya Bingung Mana yang Dipilih Jadi Ayah si Bayi."

#Judul "luar biasa" tapi "biasa saja"

Para mahasiswa saya minta membawa surat kabar "seru" dan "seram" itu untuk dianalisis apakah bahasa yang digunakan koran yang diterbitkan Grup Jawa Pos itu masuk wilayah jurnalistik stylistik atau bukan.

Bahasa dan cara menulis berita, termasuk judul berita Lampu Hijau memang tidak lazim dipakai koran arus utama yang sangat patuh pada mazab ilmu jurnalistik yang santun.

Lead berita di atas dibuka dengan kalimat seperti ini: "Kita panggil saja cewek ABG itu Bunga (nama samaran). Kini cewek 14 tahun yang masih duduk di bangku kelas 1 sebuah SMP di Subang ini hamil 5 bulan. Yang membuat tanda tanya warga, siapa cowok yang menghamili cewek asal Sumedang itu. Rupanya, yang menyetubuhinya ada 4 cowok dalam waktu berbeda. Semuanya kakak kelas Bunga."

Menganalisis koran yang harga ecerannya dibandrol Rp 2.000 itu, mahasiswa tentu tertawa, karena menemukan judul berita dan kalimat berita yang tidak lazim, meskipun mereka mengaku sudah pernah melihat koran yang sebagian besar beredar di Jakarta dan pantura Jawa Barat itu.

Kelas saya bagi menjadi dua kelompok mahasiswa untuk mendiskusikan koran tersebut. Kelompok pertama berpendapat, sepanjang Lampu Hijau memberitakan berita-berita yang ada faktanya (faktual), maka apa yang termuat di koran itu merupakan karya jurnalistik.

Di mata kelompok I, manajemen Lampu Hijau telah melakukan terobosan jurnalistik dan pasar. Pasar yang disasar, menurut kelompok ini, adalah pembaca kelas menengah ke bawah atau kelompok prasejahtera.

Sedangkan terobosan jurnalistiknya, demikian kesimpulan kelompok I, dapat dilihat dari tagline-nya yang berbunyi: "Love, Pren & Piss". Terobosan jurnalistik ini juga dapat dilihat dari cara awak redaksi Lampu Hijau dalam membuat judul berita yang cenderung atraktif (vulgar) dan panjang.

Kelompok ini lalu menunjukkan Lampu Hijau edisi 4 Oktober 2011 yang judul berita utamanya tertulis: "Pulogadung Gempar. Ada Pocong Mejeng Kerekam Handphone. Bocah Subuh-subuh Loncat-loncat (Ya iyalah Masak Pocong Ngesot). Kata Dukunnya Lampu Hijau, Si Bocah Bisa Jadi Ponari tuh."

Masih menurut pengamatan kelompok 1, Lampu Hijau juga memuat informasi-informasi berbau mistik/klenik, tapi koran ini juga mengajak kelompok prasejahtera untuk "melek" informasi dan peristiwa-peristiwa yang sedang hangat dibicarakan publik (politik, ekonomi dan olahraga) dengan bahasa yang santai. Tapi mayoritas isi tetap berita-berita kriminal dan seks.

Kelompok 2 menilai Lampu Hijau punya segmen pasar sendiri, yaitu kelas menengah ke bawah. Pembaca kelas itu disuguhi dengan bahasa berita yang tidak baku dan vulgar. "Tapi inilah style yang dimiliki Lampu Hijau, yaitu sengaja melanggar tata bahasa dan membolehkan wartawan beropini," kata salah seorang anggota kelompok 2.

Fakta yang diperoleh wartawan juga didramatisasi saat ditulis menjadi berita. Sesuatu yang biasa dibikin sensasional. Kelompok ini lalu menunjukkan salah satu berita yang dimuat Lampu Hijau edisi 3 Oktober 2011. Di sana tertulis: "Cowok ini Nggak Tahu Diri. Diajak Teman Kerja Malah Nyuri. Temen Dipecat si Cowok Lari. Pas Ketemu Lagi Dibikin Begini." Di kolom berita tersebut terdapat foto seorang laki-laki yang wajahnya bengap akibat dipukul.

Kelompok 2 berkesimpulan, apa yang ditulis Lampu Hijau merupakan bagian dari jurnalistik stylistik yang tujuannya "menghibur" pembaca.

Menurut mereka, Lampu Hijau sah-sah saja menyajikan karya jurnalistik seperti itu, sebab sampai sebegitu jauh, Lampu Hijau adalah koran resmi yang diterbitkan oleh perusahaan pers yang memiliki badan hukum.

Kelompok 1 dan 2 sama-sama berpendapat bahwa pembaca Lampu Hijau adalah kelompok kelas menengah ke bawah.

Siapa mereka? Mahasiswa menjawab sopir angkot, tukang becak, kuli bangunan dan sejenisnya.

Saya lalu minta mereka membuktikan dan melaporkannya secara tertulis dalam bentuk makalah. Salah satu kelompok menemukan fakta seperti ini:

1. Di Tanah Abang Jakarta Pusat. Menurut Andi, penjual koran Lampu Hijau: "Saya menyediakan Lampu Hijau 50 eksemplar, sedangkan Kompas 60 eksemplar. Yang lebih cepat habis terjual adalah Lampu Hijau. Biasanya pembeli koran Lampu Hijau adalah sopir angkutan, tukang parkir, dan kuli bangunan. Sedangkan Kompas, pembelinya adalah orang kantoran, mahasiswa, dan penjual kios di Tanah Abang.

2. Di gedung BNI 46, menurut Pak Ditto (penjual koran): "Di sini memang ada koran Lampu Hijau. Saya menaruh stok cuma 20 eksemplar, soalnya tidak terlalu laku dibanding koran lain, seperti Pos Kota atau Kompas.”

3. Berdasarkan keterangan pedagang eceran di daerah Jakarta Pusat: "Biasanya pembaca Lampu Hijau adalah kalangan menengah ke bawah, seperti sopir angkutan, kuli bangunan, penjual atau pedangang kaki lima. Ada sebagian kalangan menengah ke bawah yang juga membaca Kompas, Media Indonesia, dan Pos Kota.

"Dari survei yang dilakukan di tiga tempat, sepertinya memang Lampu Hijau menargetkan pangsa pasar mereka untuk kalangan menengah ke bawah. Style yang digunakan Lampu Hijau dibuat sesimpel mungkin agar bisa menarik perhatian mereka untuk membeli dan membaca koran."

Begitu kesimpulan para mahasiswa. Sependapatkah Anda dengan mereka?***
____________________________________________________________
_____________________________________
________________

Dikutip dan atas seizin yang empunya blog (Pak dosen "Bahasa Indonesia Jurnalistik"), diposting ulang semata-mata untuk pendidikan.