#Opini Politik, Sengketa Pemilu Kada Kotawaringin Barat
Ini adalah kali ketiga, diriku menginjakkan kaki di Kabupaten berjuluk Marunting Batu Aji (Menuju Kejayaan), yang secara nasional dikenal dengan nama Kotawaringin Barat (Kobar). Kedatanganku ke kabupaten beribukota Pangkalan Bun kali ini, hanya karena penasaran ingin menyaksikan secara langsung drama politik, yang menurutku hanya dilatar belakangi ambisi semata.
Kisah yang diawali dengan adegan pemilihan umum kepala daerah (Pemilu Kada), telah berlangsung 2 tahun silam ternyata masih berlanjut hingga kini. Adegan ini berlanjut dengan ketidakpuasan, ya ketidakpuasan. Karena kengototan dari kedua belah pihak telah berujung kesemrawutan, bukan hanya pada penegakkan hukum dan penyelesaian secara kontitusional, bahkan merembet ke sengketa administratif.
Tragedi terbesar terjadi beberapa waktu lalu (29/12, 2011), Rusuh massa yang telah mencoreng wajah teduh Pangkalan Bun, ibukota Kabupaten Kobar. Unjuk rasa sekitar lima ratusan orang menentang pasangan bupati-wakil bupati yang ditetapkan Mahkamah Konstitusi (MK) diwarnai aksi perusakan dan pembakaran beberapa bangunan. Massa tersebut diketahui sebagai pendukung pasangan bupati dan wakil bupati terpilih dalam pilkada namun didiskualifikasi MK. Drama tragis tersebut tak sesingkat dalam ulasan jurnal ini (Baca; Kronologis Sengketa Pemilu Kada Kotawaringin Barat).
(21 Maret 2012) Babak baru dalam adegan ini berlanjut, ketika Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) DKI Jakarta mengabulkan dan memenangkan gugatan dari salah satu kubu (Yang didiskualifikasi MK), untuk mencabut Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri (Mendagri), tentang pengesahan dan pengangkatan Bupati Kobar atas dasar rekomendasi MK (SK Mendagri Nomor 131.62-584 Tahun 2011 dan SK Nomor 132.62-585 Tahun 2011 tertanggal 8 Agustus 2011) karena dianggap cacat hukum dan tidak sah.
Jika kita membuka buku Yurisprudensi (Keputusan Hakim terdahulu), mungkin ini kali pertama dijumpai kasus sengketa pemilu kada yang menggunakan peradilan administratif (PTUN), memang hal ini tidak aneh, tetapi anehnya terletak pada logika hukum yang mengesampingkan hirarki peradilan, dimana sebelumnya sengketa pemilu kada sudah diputus MK, peradilan kelas dewa di bidang Konstitusi.
Jika yang jadi masalah hanya sebatas administrasinya, ku rasa ini tidaklah begitu signifikan, apalagi jika ngomong masalah pelengseran. Logikanya, SK di cabut lalu MK rekomendasikan untuk membuat SK baru, dan menunjuk orang melantik kembali sang bupati, beres. Bos, biaya menggelar persidangan lebih mahal jika dibandingkan dengan harga kertas untuk membuat SK. Kalau aku sih mending dananya buat bangun daerah.
Jadi sudah jelas, jika ambisi dan kengototanlah yang melatarbelakangi ini semua, jelas pula tujuan menggunakan institusi berlabel PTUN, hanya untuk bisa dikabulkan dan dimenangkan sampai tingkat Mahkamah Agung (MA). Bahasapekoknya, kalah di MK, kita adu MA dan MK. Lalu jika kedua intitusi dewa ini bertarung, ya jelas saja aset negara lagi yang jadi korban (Baca; Rujab Bupati Kobar diBakar Massa), lebih ironis lagi, para pendukung kelas menengah kebawah jadi alat, kaum elit kelas atas kesamping mah tinggal perintah.
Media massa yang seharusnya memposisikan diri senetral mungkinpun tak ku jumpai, bahkan menurut logika hukum yang ku pelajari membuatku untuk menahan tawa, saat menikmati sajian berita dan opini mereka. Sekali lagi ya maklumlah, mungkin penulisnya tak ada background dibidang hukum, terkhusus hukum tata negara, yang aku dan kawan-kawan seperjuangan dulu pelajari hingga dua belas sistem kredit semester (SKS) semasa kuliah.
Dari apa yang mereka tulis misalnya, Si anu terjungkal, si itu tidak sah dengan jabatannya, si ini dimenangkan. Dalam hati, stop! Apa maksud terjungkal, tidak sah, dan dimenangkan?
Aku rasa ini adalah kajian hukum terdangkal, dari opini dan berita yang pernah di sajikan media massa besar, yang notabenenya banyak orang hebat yang didatangkan dari ibukota. Kenapa mereka tidak melihat kompetensi peradilan yang ada. Siapa MK, siapa MA, dan terlebih siapa PTUN. Media yang ku gadang-gadang dapat menelaah dan menyajikan ulasan menarik, berimbang, dan independen hanya akan menjadi bahan tertawaan saja, ironis.
Ingin rasanya pulang lalu membawa sebongkok tulisan-tulisan mereka ke forum diskusi kawan-kawan, untuk ditelanjangi habis-habisan tentunya...(Bersambung)
#Jurnal pindahan; Pena Fitriya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar