“Berapa orang di antara rekan-rekan yang pernah meliput bencana?” Sontak tangan-tangan pun terangkat tinggi penuh semangat. “Oke, kalau begitu pasti tahu dong undang-undang penanggulangan bencana kita nomor berapa. Atau setidaknya ada yang pernah membacanya?”
Suasana mendadak hening mengiringi wajah-wajah jurnalis-jurnalis yang sebagian tersenyum-senyum, sebagian kaget dan sebagian lagi menengok pada rekan di samping kanan kirinya. Sebagian besar pun lantas berujung pada gumaman tak jelas dan gelengan kepala.
Itulah gambaran sekilas kejadian saat workshop tentang peliputan anak di situasi bencana, di Jogja pertengahan Oktober lalu. Pesertanya beragam, dari media cetak sampai elektronik, dari reporter sampai fotografer, dan dari yang baru enam bulan menjadi jurnalis hingga yang sudah belasan tahun meski mayoritas memang wartawan-wartawan muda.
Geli juga, campur prihatin, saat melihat dari yang serba beragam itu ternyata memiliki kecenderungan yang sama yaitu jarang membaca. Gelinya karena sedikit banyak saya pun sebenarnya punya kecenderungan itu. Baru belakangan ini saja saya sedang berusaha keras doyan membaca, sebuah kebiasaan lama saat harus mengerjakan tugas kuliah.
Tentu saja prihatin, karena membaca bagi jurnalis sebenarnya merupakan salah satu alat verifikasi selain tentu untuk memperkaya background dan kedalaman tulisan atau karya jurnalistik lain. Praktis yang marak digunakan saat ini masih tetap sama, yaitu pernyataan untuk memverifikasi pernyataan alias jurnalisme ludah. Dalam soal kebencanaan misalnya, bagaimana kita bisa tahu pemerintah telah melalaikan kewajibannya bila apa persisnya kewajiban itu berdasarkan UU saja kita tak pernah baca. Akibatnya kita hanya mengamini saja pernyataan dari pejabat, DPR, pengamat dsb.
Padahal ada begitu banyak dokumen yang mesti dibaca sebagai rujukan atau verifikasi berita. Tak cuma undang-undang, tapi juga aturan lain di bawahnya, kemudian juga APBN/APBD, jurnal-jurnal dan beragam tulisan/tayangan di internet terkait studi kasus bencana serupa yang terjadi di negara lain dsb.
Kualitas terancam
Memang tidak berarti lantas seorang jurnalis harus membaca semuanya itu. Namun saat dia intens membuat berita di bidang tertentu, maka setidaknya sumber-sumber bacaan yang terkait segera diakrabi.
Lagi-lagi merasa geli karena ingat saat berdiskusi dengan beberapa rekan soal penolakan UU Kebebasan Informasi Publik dan mereka berkomentar itu lebih berdampak pada pemerintah dan LSM, bukan pada jurnalis dan ternyata mereka melihat UU itu saja belum apalagi membacanya. Atau juga saat ramai-ramai teman-teman wartawan di sekitar saya menolak UU ITE, ternyata tak satu pun yang pernah membacanya secara utuh, termasuk saya waktu itu hehehe…
Jangankan terkait sumber berita, yang sudah membaca Kode Etik Jurnalistik saja berdasarkan survei terakhir masih jauh dari separuh. Tak perlulah saya dengan sok tahu memaparkan lebih detil bahayanya situasi ini bagi kualitas jurnalistik di Indonesia.
Namun lantas muncul gugatan, para jurnalis (terutama yang masih aktif sehari-hari reportase lapangan) memiliki beban kerja yang terlalu berat terutama dibandingkan upahnya. Kadang baru bisa pulang malam, capek, paginya harus keliling lagi cari berita dst. Tak ada waktu tersisa untuk memelajari hasil karya sendiri yang udah diedit, apalagi menggeluti bahan bacaan lain. Masih untung kalau tersisa waktu untuk nge-tweet, update status Facebook atau BBM-an untuk saling bertukar informasi liputan. Nah, kalau menurut Anda?